BAB XXII

15K 2.5K 93
                                    

Tidak, tidak, tidak. Aku benar-benar tidak percaya Bu Neli mengatakannya. Bagaimana bisa dia membubarkan Komunitas Hujan (yang merupakan korban), dan hanya melarang tim basket (yang merupakan pelaku) mengikuti pertandingan basket selama satu semester? Tidak adil.

Aku menyandarkan tubuh ke lokerku sambil memejamkan mata. Aku tidak akan menangis, karena aku sudah terlalu sering menangis akhir pekan lalu dan sekarang aku bahkan muak dengan kata 'menangis'.

"Hei." Itu Nathan. Aku bisa merasakannya berdiri di depanku.

Aku masih memejamkan mataku, tidak menghiraukannya. Seharusnya sekarang aku bergegas ke kantin dan makan sebelum jam istirahat berakhir, tapi aku sama sekali tidak punya tenaga untuk melakukannya.

"Hei," kata Nathan lagi.

"Apa?" balasku sambil membuka mataku.

"Maaf," katanya.

Aku tertawa sinis. "Maaf sama saja seperti menangis—tidak akan mengubah apa pun."

"Ya kurasa memang sama," kata Nathan. "Keduanya bisa membuat seseorang merasa lebih lega."

Aku terdiam. "Kurasa maaf tidak akan membuatmu lebih lega. Bagimu, maaf adalah semacam izin untuk tindakanmu selanjutnya."

"Tidak begitu!" tukas Nathan.

"Ya," balasku. "Aku memaafkanmu karena merobek-robek novelku—"

"Kau tidak memaafkanku," sela Nathan. "Kau hanya tidak terlalu sebal lagi denganku karena aku menggantikan novelmu. Kau tidak pernah memaafkanku. Kalau kau memaafkanku, kau tidak akan menganggapku menyebalkan."

Aku terdiam. Mungkin dia benar. "Apa kau keberatan kalau aku tidak memaafkanmu?"

Nathan mengangkat bahunya. "Aku tidak mempermasalahkannya. Tapi aku selalu lega jika aku telah mengucapkan maaf."

"Untuk apa mengucapkan maaf kalau pada akhirnya, kau selalu mengulangi kesalahanmu lagi?" tanyaku dengan sinis.

"Kau sama saja seperti menanyakan: untuk apa hidup kalau pada akhirnya kau akan meninggal?"

Aku mengerutkan keningku. "Memangnya ada hubungannya?"

"Ada," balas Nathan. "Usahanya. Kau berusaha hidup dan kau berusaha menekan ego untuk meminta maaf dan memaafkan.

"Kau tahu kau akan menginggal, tapi kau berusaha menciptakan kehidupan yang lebih baik sebelum hidupmu berakhir. Kau tahu tidak akan ada hubungan selamanya—baik itu dengan teman, pacar, orangtua, atau saudara—tapi kau berusaha menciptakan hubungan yang baik dengan memaafkan, sebelum hubungan itu berakhir."

Aku tertegun. Siapa orang yang ada di depanku? Apa yang telah cowok ini lakukan kepada Nathan Adinata yang tidak pernah berpikir sebelum berbicara?

Aku mengangkat wajah dan menatap Nathan, dan sekali melihatnya, aku langsung tahu bahwa tubuhnya di sini, tapi jiwa dan pikirannya mengelana pergi ke tempat lain.

[']

Sepulang sekolah, aku berjalan menuju ruang Komunitas Hujan untuk merapikan barang-barang kami. Tadi aku sudah memberi tahu kabar menyedihkan ini kepada semua anggota Komunitas Hujan dan sore ini kami akan beramai-ramai mengosongkan ruangan kami.

Megan sudah lebih dulu pergi ke ruang Komunitas Hujan, sedangkan aku baru keluar dari kelas karena ditahan beberapa menit oleh Rean untuk membicarakan hal-hal, yang bahkan aku sudah lupa tentang apa sekarang.

Aku tidak bisa menyingkirkan Nathan dari kepalaku. Maksudnya, aneh sekali! Dia tiba-tiba bersikap aneh selama beberapa menit dan menjadi cowok bijak yang sama sekali bukan Nathan. Nathan Adinata yang kutahu, tidak pernah bisa merangkai kalimat dengan baik dan sopan untuk didengar, tapi dia tadi menyampaikan hal-hal yang bahkan tidak pernah terpikirkan olehku.

Kalau kalimat itu keluar dari bibir Bu Neli, mungkin aku sama sekali tidak akan peduli. Tapi ini Nathan Adinata Si Cowok Sinis yang Menyebalkan.

Aku menggeleng-gelengkan kepala untuk mengusir pikiran apa pun tentang Nathan. Lagi pula, dia hanya bersikap menjadi cowok baik selama beberapa menit. Saat pelajaran tadi, dia sudah kembali menjadi Nathan yang Suka Mengganggu dengan menusuk-nusuk punggungku menggunakan penggaris sialannya.

Dan bukan berarti, dengan kata-kata aneh itu, aku memaafkannya. Aku tidak bisa mendengarkan kata-kata anehnya lalu tiba-tiba melupakan segala kesalahan Nathan selama ini—terutama kesalahannya yang membuat Komunitas Hujan dibubarkan oleh sekolah.

Aku menghela napas lalu membuka pintu di depanku. Di dalam ruang Komunitas Hujan, semua anggota sedang sibuk merapikan barang-barang. Aku melangkah mendekati Megan dan membantu cewek itu menurunkan beberapa buku dari rak tinggi.

"Hei," sapa Megan.

"Hai," balasku.

Megan menatapku lekat-lekat sebelum akhirnya berkata, "Jangan merasa bersalah. Kami semua mengerti ketika kau menjelaskannya tadi. Kami sama sekali tidak menyalahkanmu karena bertengkar dengan Nathan. Lagi pula, Nathan itu memang sinting. Dia memang membenci Peter Rain."

Aku tersenyum kecil. "Kau akhirnya membenci Nathan."

Megan tertawa. "Benar."

"Cowok itu sudah keterlaluan," timpal Kenzo dari belakang kami. Aku menoleh dan mengangkat alis kananku ketika melihat Kenzo menghampiri kami.

"Kau menguping pembicaraan kami?" tanyaku.

"Tidak. Hanya saja, aku punya mata, jadi aku bisa mendengar."

Aku memutar kedua bola mataku. "Haha. Lucu sekali. Kau jadi seperti Leo."

"Aku memang lucu," sahut Kenzo. "Tapi aku bukan Leo."

"Apa yang kau lakukan di situ?" tanya Megan sambil membalikkan tubuhnya dan menatap Kenzo. "Hanya berdiri dan melucu? Bantu kami menurunkan buku-buku dari rak tinggi menyebalkan ini."

Kenzo tertawa. Ia kemudian melangkah maju, membuatku dan Megan menyingkir agar Kenzo bisa lewat. "Aku memang datang untuk membantu."

Ia kemudian meraih buku-buku di bagian atas rak dengan bantuan kursi. Setelah semua buku-buku diturunkan, kami memandangi buku-buku dan semua barang-barang lainnya yang telah dikeluarkan dari lemari, diturunkan dari dinding, diambil dari laci dan segala barang-barang Komunitas Hujan lainnya yang berserakan di lantai.

"Di mana kita akan meletakkan semua barang ini?" tanya Kenzo.

Megan menatapku. "Kurasa itu semua terserah Ana—dia ketuanya."

Aku menghela napas. "Kita bagi saja sama rata kepada semua anggota—bukan hanya anggota inti. Jumlah seluruh anggota seratus enam puluh satu orang, kurasa kita bisa membagi semua barang ini kepada setiap anggota."

Aku mengusulkan ide ini kepada semua anggota dan mereka semua setuju. Kami duduk melingkar dan membagi barang-barang sambil mengobrol dan mengenang semua kegiatan kami. Beberapa dari kami menangis, tapi aku tidak. Kurasa butuh waktu sekitar satu dekade agar aku bisa mengisi kembali stok air mataku yang telah habis.

"Kita bisa membentuk kembali komunitas ini," kataku. "Bu Neli berkata, kalau kita bisa membuktikan bahwa Komunitas Hujan adalah komunitas yang pantas, sekolah bisa mengizinkan komunitas ini berdiri lagi."

"Bagaimana cara kita membuktikannya kalau kita tidak diperbolehkan mengadakan acara di sekolah?" gerutu Leo.

Aku mengangkat bahuku. "Itu bisa dipikirkan lagi. Tapi untuk saat ini, kurasa yang terpenting adalah, tetap menjalin kontak dan hubungan antara satu sama lain. Jangan lupakan teman-teman kalian di Komunitas Hujan."

Setelah beberapa kata perpisahan, satu per satu anggota mulai beranjak meninggalkan ruangan. Aku adalah yang terakhir di ruangan itu. Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling dan dadaku terasa sesak.

Aku tersenyum kecil mengingat semua hal yang pernah aku dan teman-temanku lalui di sini. Semuanya. Dari mulai rapat, menghabiskan piza yang dibawa Leo ketika cowok itu pergi ke toilet, bercanda, menyiapkan acara, bergosip, bertukar cerita, membaca novel saat hujan turun, bahkan tanpa sepengatahuan pihak sekolah (dengan bekerja sama dengan satpam sekolah), beberapa anggota—termasuk para anggota inti—pernah menginap di ruangan ini karena sibuk menyiapkan sebuah acara tahun lalu.

Aku masih tersenyum ketika menutup dan mengunci pintu.[]

a.n
maaf update subuh-subuh. Aku lupa (lagi) update kemarinn.-. HUEHEHE

Next Door to the RainWhere stories live. Discover now