BAB VII

18.7K 2.9K 53
                                    

Aku membuka pintu loker dan mengambil buku-bukuku dengan malas. Di sebelahku, Megan sedang tertawa dengan geli.

Aku menutup pintu lokerku lalu menatap Megan dengan sebal. "Tertawa saja terus," gerutuku.

Megan terkekeh. "Kau lucu sekali. Sebegitu sebalnya ya, kau terhadap Nathan?"

Aku memutar kedua bola mataku. "Pikir saja sendiri."

Lagi-lagi, Megan tertawa.

"Memangnya kau tidak sebal kepadanya?" tanyaku dengan heran.

"Tidak."

"Dia pernah mengejek Komunitas Hujan, Megan!" seruku tidak percaya.

"Memang," jawab Megan. "Tapi dia sudah meminta maaf."

"Hah!" seruku. "Orang tertolol sedunia juga tahu kalau dia tidak tulus."

"Yang penting dia sudah meminta maaf," balas Megan. "Lagi pula, setelah itu, dia tidak pernah berulah lagi terhadap kita, kan?"

"Terhadap kalian," koreksiku. "Bagiku, mengejek-ejek Peter Rain di depan wajahku itu termasuk dalam kategori berulah."

Megan tertawa kecil. Ia mengangkat bahunya lalu berkata, "Terserah, deh." Kemudian, Megan meletakkan tangan kanannya di bahuku sambil berkata, "Kalau begitu, tidak ada lagi yang bisa kukatakan selain selamat bersenang-senang di kelas!"

Aku memutar kedua bola mataku.

[']

Kelas adalah hal yang membuatku malas-malasan, dan membuat Megan tertawa bahagia di atas penderitaanku.

Mau tahu kenapa? Pikirkan saja satu orang yang sangat amat menyebalkan di hidupmu. Kemudian pikirkan kau harus satu kelas dengan orang itu selama kira-kira enam jam lebih di sekolah selama satu tahun.

Hah. Rasanya ingin sekali aku menjadi Hera yang bisa membuang Hephaestus (dalam kasus ini, Nathan Adinata) dan tidak perlu melihat wajahnya lagi. Kalau aku boleh membuat cerita, akan kubuat Hephaestus (atau Nathan) tidak akan hidup lagi dan tetap di bawah selama-lamanya. Jika begitu, hidup ini akan jauh lebih membahagiakan.

Tapi mau bagaimanapun juga, kenyataannya aku bukan Hera dan Nathan bukan Hephaestus. Kenyataannya adalah, aku tetap harus melangkahkan kakiku ke dalam kelas dan duduk di ruangan yang sama dengan Nathan (dan kalau boleh kutambahkan, duduk persis di depannya) selama sisa tahun ajaran di kelas sebelas.

Doakan aku selamat.

[']

Aku sedang sibuk mencatat apa yang dijelaskan oleh Pak Rudi di depan kelas ketika tanganku tidak sengaja menyenggol barang-barangku di meja sampai terjatuh. Sontak semua kepala langsung menoleh ke arahku.

Aku melemparkan senyum canggung sambil berkata, "Maaf."

Aku pun segera bangkit dari kursiku dan berjongkok untuk memunguti barang-barangku yang berserakan di lantai. Ketika aku sedang sibuk mengumpulkan buku-bukuku, tiba-tiba, kaki seseorang terjulur dari meja belakangku dan menarik novel Mr. Peter-ku bersama kakinya.

Aku tidak perlu mengangkat wajah untuk tahu siapa itu. Siapa lagi yang duduk di belakangku di kelas? Siapa lagi yang doyan menggunakan kakinya untuk merusak buku seseorang? Siapa lagi kalau bukan si Nathan Adinata yang menyebalkan itu.

Aku pun segera berdiri. Sambil meletakkan buku-bukuku di atas meja, aku menoleh ke arah Nathan sambil memelotot. "Kemarikan bukuku!" bisikku.

Nathan pura-pura tidak mendengarku.

Aku berjongkok lagi dan melihat bukuku masih terletak di bawah sepatu menyebalkannya. Aku sedang mengulurkan tangan untuk menyelamatkan Peter Rain-ku, ketika tiba-tiba, tangan Nathan turun dan meraih buku itu.

Segera, aku berdiri lagi dan menatap Nathan dengan sebal. "Kembalikan bukuku. Sekarang. Juga."

"Ana Iswara." Suara Pak Rudi dari depan kelas membuatku menoleh ke arahnya. "Kalau kau sudah selesai dengan barang-barangmu, tolong kembali duduk dan jangan membuat keributan."

"Baik. Maaf," kataku lalu menjatuhkan diriku di atas kursi.

Segera setelah Pak Rudi kembali menghadap ke papan tulis dan memunggungi kelas, aku memutar tubuhku ke arah Nathan sambil mengulurkan tanganku. "Apa masalahmu, sih?" gerutuku dengan suara yang dipelankan. "Cepat kembalikan bukuku!"

"Apa masalahmu juga?" balas Nathan.

Aku memelotot. Tolong beritahu aku, apakah itu bahkan pertanyaan?

"Apa masalahku?" ulangku dengan nada tidak percaya. "Hm, coba kuingat-ingat. Ah! Masalahku adalah, aku harus duduk di depanmu selama sisa tahun ajaran! Dan kalau itu belum cukup buruk, kau menginjak-injak novel kesayanganku dan sekarang kau tidak mau mengembalikannya!" ucapku. Aku tidak sadar bahwa aku lupa memelankan suaraku.

"Ana, Nathan," tegur Pak Rudi. "Sekali lagi membuat keributan, silakan keluar dari kelasku."

Aku memutar tubuhku sambil menggumamkan maaf.

Pak Rudi kemudian memutar tubuhnya dan kembali memberi kami punggung. Setelah beberapa lama menatap punggung membosankan itu, aku tidak tahan lagi. Aku kembali memutar tubuhku ke arah Nathan sambil berkata, "Aku tidak mau kita berdua terkena hukuman lagi—aku sudah bosan menjalani hukuman denganmu. Jadi lebih baik, kau serahkan novelku sekarang. Kemudian, kita berdua bisa hidup bahagia di kehidupan kita masing-masing."

Nathan menyandarkan tubuhnya di punggung kursi. Cowok itu menatapku sambil tersenyum mencemooh. "Oh, anak rajin. Tidak mau dihukum, ya?"

"Tidak, tentu saja. Itu akan mengacaukan nilaiku!" seruku dengan suara pelan.

Nathan tertawa sinis. "Cupu," bisiknya.

Aku memelotot. "Enak saja."

"Memang benar," kata Nathan.

Aku memutar kedua bola mataku. Meneruskan perdebatan ini dengan Nathan tidak akan ada gunanya. Jadi, aku kembali ke tujuan awalku. Aku mengulurkan tanganku kemudian berkata, "Kemarikan novelku sekarang."

"Memangnya kenapa aku harus mengembalikan novelmu?" tanya Nathan sambil menatapku dengan tatapan bosan.

"Kalau kau tidak mengembalikannya, aku akan terus memintanya padamu sampai kau bosan padaku."

"Kau tidak perlu mencecarku setiap hari aku juga sudah bosan melihat punggungmu di kelas," balas Nathan.

Aku tersenyum sinis. "Kalau begitu, aku akan membuatmu tambah bosan."

"Coba saja. Lagi pula, kau tidak akan bisa terus menerus mencecarku. Nayla dan geng noraknya akan menghabisimu," kata Nathan sambil tersenyum mencemooh.

Aku melongo. Apa dia baru saja menjelek-jelekkan pacarnya sendiri? Aku benar-benar tidak habis pikir.

"Ana Iswara! Nathan Adinata!" seru Pak Rudi dari depan kelas. "Tentunya yang kalian bicarakan lebih penting dari pelajaranku kali ini, ya?" sindir pak tua itu.

Aku memutar tubuhku ke depan dan berkata, "Nathan mengambil bukuku."

Pak Rudi memandangku sesaat kemudian berkata kepada Nathan, "Nathan, kembalikan buku milik Ana sekarang, atau jangan pernah memasuki kelasku lagi. Dan siap-siap mendapatkan nilai nol di pelajaranku."

Aku bisa mendengar Nathan mengeluh. Dia kemudian meraih ke dalam kolong mejanya dan melemparkan buku itu kepadaku. Aku tersenyum penuh kemenangan ke arahnya.

"Nah sekarang, Ana, Nathan, sesuai perkataanku tadi, karena kalian membuat keributan, silakan pergi keluar kelas dan temui Bu Neli," kata Pak Rudi.

Aku melongo menatap Pak Rudi. Masa aku dapat hukuman lagi?

Aku bisa mendengar Nathan berdiri dan berjalan melewatiku sambil melemparkan senyum mencemooh andalannya yang membuatku ingin menendang wajahnya.[]




Next Door to the RainWhere stories live. Discover now