BAB VI

20.4K 3K 104
                                    

Dari awal mengenal cowok itu, aku memang sudah tidak suka padanya.

Aku memang sering mendengar nama Nathan Adinata dari bibir orang-orang yang mengaguminya. Dan aku tahu beberapa hal tentangnya. Dia adalah anak tunggal dari keluarga Adinata, dia adalah ketua tim basket, dan dia berwajah tampan. Namun, aku baru benar-benar kenal dengannya kira-kira satu tahun yang lalu.

Aku ingat betul, waktu itu adalah hari Senin dan aku datang ke sekolah dengan perasaan sangat bahagia. Hari Sabtu kemarin, aku baru saja mendapatkan cetakan pertama Mr. Rain bertandatangan.

Seharian itu, aku tidak bisa berhenti menenteng novel Mr. Rain ke manapun aku pergi—termasuk ke kafetaria pada jam makan siang.

Aku ingat, waktu itu, aku telah menghabiskan makan siangku dan memutuskan untuk membuka novel Mr. Rain untuk kubaca-baca ulang (karena aku sudah menyelesaikan novel itu hanya dalam waktu dua jam) sambil menunggu teman-temanku yang lain menghabiskan makanan mereka.

Aku baru saja membaca beberapa paragraf ketika tiba-tiba seseorang datang menghampiriku dan merebut novel Mr. Rain dari tanganku begitu saja.

Aku langsung beranjak dari dudukku dan bersiap mengomeli siapa pun yang berani-beraninya merebut novel kesayanganku dengan sebegitu kasarnya. Ternyata aku berhadapan dengan Nathan Adinata.

Nathan memandangi novelku dengan tatapan yang tidak bisa kuartikan. Tatapan itu bisa dikatakan sedih. Tapi aku tidak yakin juga—untuk apa dia bersedih?

Tapi aku tidak yakin juga apakah itu benar-benar tatapan sedih, karena pada detik berikutnya, ekspresi apa pun tadi di wajah Nathan berubah menjadi ekspresi penuh kebencian dan dia langsung menjatuhkan buku Mr. Rain dari tangannya dan menginjak-injak novel tersebut.

Dan setelahnya, dia langsung pergi. Begitu saja.

[']

Kali berikutnya aku bertemu Nathan adalah ketika aku mendapat tugas mencari sebuah buku di perpustakaan. Saat itu sudah lewat sekitar satu bulan semenjak kejadian Nathan menginjak-injak bukuku, tapi tetap saja, aku belum memaafkan perbuatan cowok itu.

Jadi, ketika aku melihat Nathan di perpustakaan, aku langsung bergegas menghampirinya dan menepuk bahunya dengan keras.

Nathan menoleh kepadaku dengan tatapan terkejut. Detik berikutnya, senyum mencemooh andalannya langsung terbit. "Ah, aku ingat padamu. Kau pemilik novel Mr. Rain payah itu, kan?"

"Berani-beraninya kau—"

"Siapa namamu?" tanyanya.

"Bukuku jadi rusak!" seruku, tidak mengiraukan pertanyaannya. Masa bodolah dengan namaku. Lagipula, memangnya dia benar-benar peduli? "Kau tahu, itu buku bertanda tangan dan aku mengantri seharian di toko buku untuk mendapatkannya!"

Nathan menatapku selama beberapa saat sebelum tertawa sinis. "Kau pasti termasuk orang-orang yang berbaris paling depan ketika peluncuran buku itu," katanya.

"Memang," jawabku.

"Orang-orang yang berbaris paling depan selalu orang yang sombong," katanya dengan sinis. "Tidak memedulikan yang di belakang mereka."

Aku ingat aku merasa nyaris meledak saat itu. "Memangnya kau pikir kau siapa? Kau tidak tahu apa-apa. Kau tidak tahu perjuanganku agar bisa menjadi salah satu orang yang berbaris di depan! Seenaknya saja kau berkata begitu! Lagi pula, apa pedulimu? Bukuku rusak dan kotor. Memangnya kau mau menggantikan bukuku?"

"Tidak," jawab Nathan dengan apatis. Dia membalik tubuhnya lalu kembali menekuni jejeran buku di hadapannya. "Nah, kurasa kau sudah tahu jawabannya bahkan sebelum kau bertanya. Jadi, untuk apa kau repot-repot mendatangiku?"

Benar juga. Menyebalkan sekali, sih! Dia membuatku merasa seperti aku adalah orang tertolol sedunia.

Jadi, aku membalik tubuhku untuk beranjak pergi—sebelum aku membuat tindakan bodoh lainnya. Namun, sebelum aku bisa melangkah, gerakanku terhenti oleh pertanyaan Nathan, "Siapa sih namamu?"

Aku memutar tubuhku dan menatap Nathan sambil tertawa sinis. "Memangnya kau peduli?" tanyaku.

"Tidak juga," jawab Nathan. "Aku hanya bertanya-tanya karena aku tidak pernah mendengar namamu. Walaupun itu masuk akal, karena kau salah satu penggemar novel kacangan Mr. Rain apalah itu, kurasa kau termasuk dalam kumpulan orang cupu tak dikenal yang—"

"Terserah," selaku. Aku tidak mau mendengar ucapan apa pun yang keluar dari mulut orang itu lagi. Jadi, aku membalik tubuhku lagi dan melangkah pergi.

[']

Selanjutnya, pertemuanku dengan Nathan tidak ada yang tidak diisi dengan adu mulut. Tidak jarang dia membuatku terseret ke ruangan Bu Neli—wakil kepala sekolah yang kerjaannya memberikan hukuman terus.

Orang itu benar-benar aneh. (Maksudku Nathan, bukan Bu Neli.) Kurasa, satu-satunya hal yang membuatnya dari awal membenciku hanya karena aku menyukai novel Peter Rain.

Dan dia tidak hanya membenciku. Kurasa, dia memang membenci semua orang yang menyukai novel Peter Rain. Beberapa bulan setelah dia menginjak-injak bukuku dengan kurang ajar, Komunitas Hujan didirikan. Dan dia dengan seenak jidatnya, menyebarkan berita bohong yang kurang ajar bahwa alasan berdirinya Komunitas Hujan hanyalah karena, anggota-anggota di dalam Komunitas tersebut ingin mencari kepopularitasan atau apalah.

Biarpun begitu, kurasa dia tetap paling tidak suka denganku. Aku tidak tahu kenapa. Dia juga berkali-kali menyindirku dengan menyebutkan fakta bahwa aku penggemar kurang kerjaan yang egois hanya gara-gara aku termasuk orang yang mengantri di depan pada saat acara peluncuran Mr. Rain.

Suara berisik dari aula di sebelah kananku menghentikan gerakan langkah sekaligus pikiranku. Secara refleks, aku menoleh ke kanan dan langsung mendapati bahwa pintu aula itu tidak tertutup dengan rapat—malah terbuka cukup lebar sehingga aku bisa melihat apa yang ada di dalam.

Detik berikutnya, aku langsung menyesali apa yang telah kulakukan.

Di dalam, ada Nathan yang sedang asyik-asyiknya bermain basket sendirian. Oh, tunggu. Dia tidak sendirian.

Di kursi penonton tidak jauh dari lapangan, terdapat seorang gadis cantik yang menurut orang-orang oh-sangat-sempurna, sedang heboh bertepuk tangan dan bersorak-sorak tidak jelas.

Dia Nayla, pacar Nathan—sumber keberisikan yang membuatku berhenti.

Sejujurnya, aku agak kasihan dengan gadis itu. Tampaknya, dia naksir berat kepada Nathan, tapi bahkan setelah mereka berpacaran pun, Nathan tidak menunjukan ketertarikan sedikit pun kepada Nayla. (Berdasarkan gosip yang beredar, Nathan hanya menerima cewek itu karena tidak tahan lagi dengan rengekan Nayla setelah ditolak berkali-kali.)

Dasar cowok tidak punya hati.

Malas melihatnya, aku mengalihkan pandangan dan melanjutkan langkahku.[]






Next Door to the RainWhere stories live. Discover now