BAB XVII

15.9K 2.5K 88
                                    

Hari ini hari Jumat dan aku sudah berjanji pada Mama untuk pulang secepat yang aku bisa, karena aku harus membantu Mama membuat cupcake. Jadi sekarang, aku berjalan terburu-buru menuju ruang Komunitas Hujan. Dalam hati, aku berdoa agar tidak perlu menemui halangan (seperti Rean, misalnya) karena aku benar-benar tidak punya waktu.

Aku berbelok menuju koridor tempat ruang Komunitas Hujan berada bertepatan dengan pintu tim basket yang terbuka. Aku tidak peduli siapa yang keluar dari ruangan itu sampai orang yang keluar itu memanggil namaku.

Aku menoleh dan mendapati Nathan Adinata berdiri di sana.

Omong-omong, sejak Nathan menyerahkan novel Mr. Peter edisi lama, dia belum berbicara apa-apa lagi denganku—bukannya aku mau dia bicara denganku juga.

"Apa?" tanyaku.

Nathan melangkah menghampiriku. "Kudengar, besok kau akan mengadakan acara payahmu itu, ya?"

"Acara payah apa?" Aku menatapnya dengan sinis. "Aku tidak mengadakan acara payah besok. Besok, aku akan mengadakan acara yang hebat."

Nathan tertawa. "Yah, semoga berhasil."

Aku menatapnya dengan curiga.

"Kenapa kau menatapku begitu?" tanya Nathan.

"Kau tidak akan datang dan mengacau, kan?" tanyaku, tiba-tiba khawatir.

Tawa Nathan berderai. "Tentu saja tidak! Itu hanya membuang-buang waktuku saja."

"Bagus." Aku melangkah meninggalkannya.

Tapi sebelum tanganku menyentuh gagang pintu ruang Komunitas Hujan, Nathan bertanya, "Hardana akan datang ke acaramu?"

Aku menoleh padanya lalu mengangkat bahuku. "Entahlah. Kurasa begitu."

Nathan tampak berpikir sejenak. "Hardana belum bilang apa-apa. Tapi kurasa nanti dia akan mengatakannya kepada seluruh anggota tim basket dan meminta kami datang."

"Tapi kau kan tidak akan datang."

Nathan mengangkat bahunya sambil tersenyum menyebalkan. "Aku tidak tahu. Kau tahu, tidak sopan menolak ajakan teman."

"Kumohon, jangan datang," pintaku.

Nathan hanya tertawa kecil lalu melangkah memasuki ruang tim basket.

Aku sebal, tentu saja. Tapi entahlah, ada semacam perasaan asing—yang tidak pernah kurasakan sebelumnya—merambat memasuki dadaku. Perasaan aneh yang muncul ketika sadar bahwa Nathan sudah tidak sesinis dan sedingin waktu itu. Perasaan yang aneh sekali.

Aku menggeleng-gelengkan kepala untuk mengusir pikiran absurd apa pun yang sempat lewat di benakku, kemudian melangkah memasuki ruang Komunitas Hujan.

[']

Setelah memastikan bahwa semuanya sudah siap untuk besok, aku buru-buru pulang ke rumah, untuk menyiapkan satu-satunya hal yang belum siap untuk acara kami besok—cupcake.

Begitu tiba di rumah, aku langsung melempar tasku ke atas sofa dan bergegas menuju dapur. Seperti yang sudah kuduga, Mama sedang sibuk di dapur, membuat banyak sekali cupcake.

Mama menoleh sekilas ketika aku datang. "Hei, kau sudah pulang."

"Hei. Dan ya, begitulah." Aku berjalan dengan hati-hati untuk menghindari berbagai macam benda yang berceceran di lantai dapur. "Ada yang bisa kubantu?"

"Oh, ada. Banyak sekali malah," sahut Mama sambil mengayak adonan di depannya. "Kau bisa menuangkan adonan yang sudah jadi itu ke dalam cetakan muffin lalu kukus cetakannya," lanjut Mama sambil mengedikkan dagunya ke adonan yang dia maksud.

"Baiklah." Aku berjalan menuju adonan yang terletak di sebelah kanan Mama dan melakukan apa yang diperintahkan Mama.

"Omong-omong," kata Mama sambil menuangkan margarin ke dalam adonannya. "Apakah Mama perlu datang ke acaramu besok?"

"Terserah Mama saja," jawabku sambil menuangkan adonan ke dalam cetakan muffin. "Tapi tidak apa-apa kalau Mama tidak datang. Lagi pula, aku tidak yakin Mama akan bersenang-senang di sana."

"Memangnya apa saja kegiatan di acaramu besok?" tanya Mama tanpa mengalihkan pandangan dari pekerjaan di hadapannya.

"Wawancara Sarah Bakker, kuis berhadiah, drama kecil Peter Rain, dan yah, beberapa acara-acara lainnya yang seperti itu," jawabku.

"Kalau begitu Mama akan mengantarmu saja besok ke sekolah." Mama mengaduk adonannya. "Sekalian membantumu menata cupcake-cupcake ini di meja—agar enak untuk dipandang."

Aku tersenyum sambil menoleh kepada Mama. "Terima kasih."

"Tidak masalah," kata Mama. "Asal kau mau berjanji untuk menghadiri setiap acara kantor Papa."

"Mama!"

Mama tertawa kecil. "Bercanda," katanya.

Aku mendesah lega. Aku benar-benar tidak bisa membayangkan kalau harus sering-sering bertemu Nathan. Seperti mimpi buruk saja.

"Tapi sekali-sekali, kau perlu menghadiri acara di kantor Papa lagi," kata Mama sambil menyerahkan adonannya yang sudah jadi kepadaku. "Lakukan hal yang sama—masukkan ke dalam cetakan-cetakan muffin itu. Mama akan mulai menghias beberapa cupcake."

"Sekali-sekali, ya." Aku memberi penekanan pada kata-kataku sambil menerima adonan dari Mama.

Mama tertawa kecil. Ia kemudian melangkah menuju meja lainnya. Di meja itu, terdapat beberapa cupcake yang menanti untuk dihias.

"Kau mau hiasan cupcake-cupcake ini seperti apa?" tanya Mama sambil mengambil beberapa fondant.

"Terserah Mama saja," jawabku. "Yang penting berkaitan dengan acaraku."

Mama mengangguk-angguk.

"Omong-omong," kata Mama sambil menghias cupcake di hadapannya. "Apakah kau sedang berkencan dengan seseorang?

Aku membelalak. "Kenapa Mama tiba-tiba menanyakan hal itu?"

Mama tertawa. "Ya, Mama hanya penasaran saja."

"Tidak ada," jawabku.

Mama mendengus geli. "Papamu benar. Kau benar-benar harus mencari cowok nyata untuk dikencani di luar sana."

"Kenapa semua orang menyuruhku melakukan hal itu?" gerutuku dengan sebal.

"Karena Mama rasa, itu adalah hal yang normal," kata Mama. "Yah, setidaknya, kau seharusnya menyukai seorang cowok yang nyata."

Aku tidak bisa tidak memutar kedua bola mataku mendengar penekanan yang diberikan Mama pada kata 'nyata'. Kurasa aku tahu kenapa Mama tiba-tiba menanyakanku hal ini. Cupcake di depannya mengingatkannya akan acaraku besok. Acara besok mengingatkannya tentang Peter Rain. Dan Peter Rain mengingatkan Mama akan 'keanehanku' tidak menyukai cowok nyata.

"Aku masih enam belas tahun," kataku sambil menuangkan adonan ke dalam cetakan muffin. "Masih banyak waktu untuk memikirkan hal-hal seperti itu."

"Tapi inilah waktu yang tepat!" Mama terdengar bersemangat sambil menghias cupcake di depannya. "Mama pertama kali berkencan dengan cowok waktu berumur lima belas tahun."

"Ya, tidak beda jauh dengan umurku sekarang."

"Memang masih ada harapan untuk sekarang," sahut Mama. "Tapi kalau kau menunggu-nunggu terus, bisa-bisa kau baru mulai naksir cowok waktu berumur empat puluh tahun dan itu jauh dari lima belas tahun."

"Tidak mungkin," kataku sambil tertawa.

Mama ikut tertawa. "Kalau begitu buktikan. Kenalkan seorang cowok nyata kepada Mama sebelum kita berdua terlanjur tua."[]







Next Door to the RainWhere stories live. Discover now