BAB XV

16.1K 2.5K 83
                                    

Ada yang berbeda dari Nathan kemarin. Kurasa dia agak—entahlah, lebih sinis dan dingin daripada biasanya. Walaupun yah, biasanya dia sudah sinis dan dingin, kemarin dia lebih sinis dan dingin.

Aku menggeleng-gelengkan kepalaku untuk mengusir bayangan Nathan dari benakku. Memangnya kenapa kalau dia sinis dan dingin? Bukan urusanku juga. Mau dia tiba-tiba menjadi cowok yang ramah lingungan, rajin menabung, berbakti pada orangtua, atau apalah, bukan urusanku sama sekali. Aku tidak seharusnya memusingkan hal tersebut.

Lagi pula, mungkin dia hanya kesal kepadaku karena telah membuatnya repot dengan keluhanku tentang novel edisi baru yang diserahkannya. Bagaimanapun juga, aku sadar aku telah bertingkah menyebalkan hari itu. Tapi hei, jangan salahkan aku sepenuhnya! Aku sangat menyukai novel itu dan aku berusaha keras mendapatkan edisi lamanya—jadi jangan salahkan aku kalau aku sedih ketika Nathan menyerahkan novel edisi baru.

Lagi pula, aku kan tidak memintanya untuk menggantikan novelku. Dia hanya tiba-tiba merebutnya lalu berlalu pergi. Aneh sekali.

Mungkin dia kelelahan setelah berkeliling untuk mencari novel Mr. Peter edisi lama itu. Mungkin saja dia harus mengunjungi banyak toko yang sedang mengobral buku atau menjual buku bekas (ya, aku yakin sekali yang diberikannya padaku adalah buku bekas. Aku menemukan nama pemilik sebelumnya di halaman depan).

Tapi bagaimanapun juga, yang dilakukan Nathan sungguh di luar dugaan. Dia—

Tunggu. Kenapa aku jadi membicarakan Nathan? Bukankah tadi aku sudah menggeleng-gelengkan kepalaku untuk menyingkirkan sosok cowok itu dalam benakku? Menyebalkan sekali. Sudah cukup dia muncul di mana-mana dalam jarak pandangku. Aku sama sekali tidak butuh dia muncul di mana-mana dalam pikiranku.

[']

"Ana!" seseorang menyerukan namaku. Membuatku mau tidak mau menoleh—atau mungkin lebih tepat jika kukatakan tidak mau tidak mau menoleh (karena aku sama sekali tidak mau).

Aku memasang senyum di wajahku sebelum menoleh. "Hai, Rean."

Rean berjalan menghampiriku dan berhenti di sebelah lokerku. Dia menjulurkan kepalanya untuk melihat lokerku lalu berkata, "Lokermu berantakan sekali."

Aku terkekeh pelan. "Begitulah."

"Kau mau aku membereskannya?" tanya Rean.

Aku membelalak. "Tentu saja tidak!"

"Kenapa?" tanya Rean. "Aku suka membereskan sesuatu. Kalau kau ke kamarku, kau akan melihat kamar cowok paling rapi sedunia."

Aku tertawa kecil—sekadar untuk mengharagainya, omong-omong.

Aku benar-benar berharap Rean melakukan sesuatu yang buruk. Sesuatu yang bisa membuatku memiliki alasan pasti untuk tidak menyukainya. Tapi sampai sekarang, cowok itu tampaknya baik sekali. Apa pun yang dikatakan Nathan soal Rean, aku sama sekali belum pernah memergoki Rean sedang bergosip atau apa.

Hanya saja, aku tidak suka padanya. Banyak yang bilang, kau tidak perlu alasan untuk menyukai seseorang. Jadi seharusnya, aku juga bisa mengatakan sebaliknya—kau juga tidak perlu alasan untuk tidak menyukai seseorang.

Bukan dari gayanya. Dia cukup tampan (walaupun bukan tipeku), dia juga senang mengoceh soal macam-macam (walaupun aku tidak pernah benar-benar mendengarkannya), dia juga sering membantuku membawa barang-barangku jika dia melihatku kesulitan (walaupun aku tidak pernah memintanya), dan barusan, dia menawari untuk membereskan lokerku (walaupun dia sama sekali tidak memunyai kepentingan apa pun dengan lokerku).

"Hari ini tidak ada pertemuan Komunitas Hujan?" tanya Rean begitu aku menutup loker (dan setelah aku meyakinkannya bahwa dia tidak perlu merapikan lokerku).

Aku menggeleng sambil menyandang tas di bahuku. "Tidak ada."

Rean mengangguk-angguk. "Ngomong-ngomong, karena besok Sabtu, apakah kau ada acara?"

"Memangnya kenapa?" tanyaku.

"Aku ingin mengajakmu pergi," jawab Rean langsung.

Oke, Ana, ayo, pikirkan sesuatu.

"Aku akan ke rumah Megan besok," jawabku asal.

Rean tampak kecewa. "Serius?"

"Iya," jawabku. "Maaf."

Rean tertawa kecil sambil melambaikan tangannya. "Tidak apa-apa. Bagaimana kalau hari Minggu?"

"Hari Minggu nenekku akan datang. Aku tidak bisa pergi ke mana-mana," jawabku. Aku tidak sedang berbohong.

"Oh begitu," kata Rean. "Bagaimana dengan Sabtu minggu depan?"

"Sabtu minggu depan adalah jadwal acara Next Door to the Rain," kataku sambil tertawa kecil. "Kau tidak mungkin mengharapkanku pergi bersamamu dan meninggalkan acara itu."

Rean ikut-ikutan tertawa. "Oh iya, maaf, aku lupa," katanya. "Bagaimana kalau besoknya? Hari Minggu?"

Aku menimbang-nimbang sebentar. Yah, kurasa aku harus memberi Rean kesempatan.

"Mungkin bisa, kalau aku tidak terlalu lelah," jawabku. "Lihat saja nanti."

"Bagus," kata Rean sambil tersenyum senang.

Dan senyuman itulah yang membuat rasa bersalahku semakin besar. Ah, aku benar-benar berharap Rean melakukan sesuatu yang buruk.

[']

Malam itu, ketika aku baru saja selesai menyantap makan malam, panggilan telepon dari Megan masuk.

"Kau berkata pada Rean bahwa besok kau akan ke rumahku?" tanya Megan begitu aku menjawab panggilan teleponnya.

"Ya," jawabku. "Dan kuharap, kau mengiyakan hal tersebut."

"Karena aku teman yang baik dan pengertian, tentu saja aku mengiyakan hal tersebut," balas Megan.

Aku mendesah lega. "Terima kasih," kataku. Aku tidak bisa membayangkan apa yang terjadi jika Megan menyangkal hal itu.

"Tapi aku tidak mengerti," kata Megan. "Kenapa kau berbohong pada Rean? Kau mengindarinya?"

Aku memang belum bercerita pada Megan tentang perasaan tidak sukaku terhadap Rean. Aku tidak yakin Megan akan mengerti. Tampaknya cewek itu lumayan akrab dengan Rean.

Tapi mau bagaimana lagi? Sekarang, Megan sudah tahu aku berbohong untuk menghindari Rean. Aku harus menjelaskan hal ini kepadanya.

"Akan kujelaskan besok," jawabku. "Besok aku akan ke rumahmu."

"Baguslah," balas Megan. "Aku khawatir Rean akan mampir untuk menemuimu, dan jika kau tidak ada di sini, dia pasti curiga."

"Memangnya—kalau kejadiannya begitu—kau tidak bisa berkata padanya aku sudah pulang?" tanyaku dengan heran.

"Bisa," sahut Megan. "Lalu Rean akan mendatangi rumahmu dan kau gagal mengindar darinya."

Aku mendesah. Megan benar. "Apakah kau bisa memastikan Rean tidak datang ke rumahmu besok?"

"Akan kuusahakan," kata Megan. "Tapi aku tidak janji. Tampaknya Rean benar-benar menyukaimu."

Aku sungguh-sungguh berharap Megan tidak mengucapkan kalimat terakhirnya itu.[]



Next Door to the RainWhere stories live. Discover now