BAB XI

15.8K 2.8K 286
                                    

"Kau bisa duduk di situ kalau kau bosan," kata Papa sambil menunjuk sederet kursi di sebelah kanan ruangan.

Kepalaku mengikuti arah yang ditunjuk oleh Papa. "Memangnya, kalau aku duduk di situ, rasa bosanku akan hilang?" gumamku.

"Kau bisa membaca novelmu. Itu dapat mengurangi rasa bosanmu. Iya kan?" kata Papa. (Oke, ternyata gumamanku terlalu keras.)

"Ya, baiklah."

"Papa dan Mama ingin menemui beberapa teman dulu. Kau ambil makanan saja atau apalah," kata Mama.

"Oke."

Setelah mengatakan beberapa hal lagi, Papa dan Mama berlalu pergi.

Aku mengikuti saran Mama untuk mengambil makanan terlebih dahulu. Jadi, aku berjalan menuju meja panjang yang di atasnya terdapat berderet-deret makanan.

Sambil berjalan menuju meja itu, aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling. Ruangan tempat acara ini diadakan cukup besar—bukannya ada yang istimewa juga, sih. Dinding ruangan dicat putih tulang membosankan dan di dinding ruangan ini terdapat jendela-jendela besar yang memperlihatkan langit malam kota Jakarta.

Bagian dalamnya pun juga sama membosankannya. Meja panjang disusun berderet-deret—berisi berbagai makanan, minuman, dan foto-foto. Di antara meja-meja itu, orang-orang berseliweran sambil terkadang berhenti untuk bertukar sapa.

Membosankan.

Setelah mengambil makanan, aku berjalan menuju deretan kursi yang tadi ditunjuk oleh Papa. Aku menduduki salah satu kursi yang kosong dan meletakkan piring di pangkuanku. Kemudian, aku merogoh tas dan mengeluarkan novel Mr. Peter-ku.

Aku baru membaca beberapa paragraf—dan memakan beberapa suap nasi goreng—ketika telingaku menangkap suara-suara yang familier.

"Kenapa kau berjalan dengan sangat lambat, sih?"

"Kau yang berjalan terlalu cepat."

"Kau yang terlalu lambat."

"Iya, baiklah. Maafkan aku. Omong-omong, bagaimana kalau kita duduk?"

"Ya, terserah."

Aku mengangkat wajah dari novelku dan benar saja, aku mendapati Nathan dan Nayla sedang berjalan melewatiku. Aku tidak bisa tidak memutar kedua bola mataku mendengar percakapan kedua orang itu. Pacar macam apa sih si Nathan itu? Tidak punya hati sekali!

Aku juga heran sekali dengan Nayla—kenapa dia mau-maunya saja mengalah? Kenapa dia bahkan mau berpacaran dengan Nathan?

Tiba-tiba, Nathan menoleh ke barisan kursiku dan memergokiku sedang menatapnya. Aku bisa merasakan wajahku sedikit menghangat.

"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Nathan sambil berjalan menghampiriku.

"Bersenang-senang, tentu saja," balasku dengan sinis.

"Kau Ana Iswara, kan?" tanya Nayla begitu dirinya sudah dapat menyusul Nathan dan berdiri di sebelahnya. Dari gaya bicaranya, dia terdengar agak merendahkan. Tapi yah, memang tidak banyak yang bisa kau harapkan dari cewek semacam Nayla.

"Ya," jawabku.

"Bukankah ini novel yang kucoret tadi siang?" tanya Nathan sambil merebut novel Mr. Rain dari tanganku begitu saja.

"Iya, dan kembalikan novelku sekarang!"

"Kau bertemu dengannya tadi siang?" tanya Nayla sambil menatap Nathan.

"Ya," jawab Nathan.

"Untuk apa?" tanya Nayla. Apa sih masalah cewek ini?

"Hukuman dari Pak Rudi." Akhirnya, aku yang menjawab. "Dan lagi pula, kami kan memang satu kelas! Tentu saja kami bertemu setiap hari—yah, kecuali hari libur."

"Kenapa kalian bisa mendapat hukuman? Apa yang kalian lakukan?" tanya Nayla ingin tahu—mengabaikan kalimat terakhirku.

"Pacarmu itu merebut dan menyembunyikan novelku," kataku.

Nayla menatapku beberapa saat sebelum berkata, "Harusnya kau saja yang dihukum. Nathan tidak bersalah."

"Hah?" Hanya itu kata-kata tercerdas yang bisa dipikirkan otakku sekarang.

"Kalau kau tidak membawa novel ke dalam kelas, Nathan tidak mungkin merebutnya," jelas Nayla.

Sebelum aku bisa membalas pernyataan paling tidak masuk akal yang pernah kudengar ini, ponsel Nayla tiba-tiba bergetar. Ia membaca pesan yang masuk kemudian berkata kepada Nathan, "Maaf sekali. Tapi orangtuaku berkata, mereka punya urusan penting yang sangat mendesak sehingga aku harus ikut pulang sekarang."

"Hm," kata Nathan acuh tak acuh.

"Baiklah, sampai bertemu besok." Nayla berjinjit kemudian mengecup pipi Nathan sekilas. Ia kemudian membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi.

Begitu Nayla hilang dari pandangan, Nathan mengelap pipinya dengan jijik. Kemudian, cowok itu duduk di sebelahku sambil masih memainkan novel Mr. Peter-ku di tangannya.

"Kembalikan," kataku sambil menarik novelku dari tangannya.

"Sebentar dulu," jawab Nathan sambil memandangi buku itu dengan ekspresi jijik yang terpampang jelas. "Aku mau mencari tahu kenapa buku ini bisa sangat payah."

Aku memutar kedua bola mataku. Terserahlah. Aku sedang malas berdebat.

Kemudian, aku teringat sesuatu dan aku tidak tahan untuk tidak bertanya. "Nayla serius menganggapmu benar untuk insiden tadi siang? Dia tidak bercanda, bersarkasme, atau apalah?"

Nathan menggeleng. "Dia selalu menganggapku benar."

Aku menatapnya tidak percaya. Kemudian, aku mengangguk paham. "Kalau begitu, kalian cocok. Kau kan juga selalu menganggap dirimu benar."

Nathan hanya mengangkat bahunya dan tidak mengatakan apa-apa.

Merasa bingung akan apa yang harus kulakukan, aku mengulurkan tanganku dan berusaha menarik novelku dari genggaman Nathan.

"Coba tarik kalau bisa," kata Nathan sambil tertawa mengejek.

Dasar menyebalkan. Lihat saja, aku pasti bisa merebut novelku kembali.

Aku menarik novelku kuat-kuat dan, oh, tindakan bodoh.

Aku berhasil mengambil lagi novelku, tapi sampul belakang novelku robek. Aku menatap sampul belakang novelku dan rasanya, seperti ada yang menusuk dadaku dengan sesuatu. Bagian belakang mataku juga terasa memanas.

Jangan menangis. Aku tidak akan menangis. Aku tidak akan membiarkan Nathan berpuas diri karena telah berhasil membuatku menangis.

Tapi tampaknya, Nathan menyadari perubahan wajahku karena cowok itu berkata, "Masa cuma sampul belakang yang robek saja kau menangis?" ledeknya. "Lagi pula, novelmu itu sudah terkena coretan sana-sini. Sudah kuinjak berkali-kali. Apa bedanya?"

"Iya, tapi ini pertama kalinya novelku robek. Dan bagiku, novel yang robek itu sudah benar-benar rusak." Akhirnya aku bisa bersuara—walaupun yah, suaraku bisa dibilang menyedihkan.

"Hanya sampul belakangnya saja yang robek," kata Nathan dengan nada yang menunjukkan kalau dia bosan.

"Sama saja!" balasku.

"Sama saja dengan apa?" tanya Nathan. Sebelum aku bisa menjawab, Nathan merebut novel Mr. Peter dari tanganku kemudian dia melanjutkan, "Seperti ini?"

Dan kemudian, di depan mataku, dia merobek halaman-halaman Mr. Peter dengan santainya. Aku tidak bisa berkata apa-apa. Bibirku seolah-olah terkunci rapat bersamaan dengan tangan Nathan yang bergerak menyobek halaman-halaman novelku. Dan satu sobekan yang diciptakan Nathan di novelku, menyebabkan satu sobekan di hatiku.

Nathan bukan siapa-siapa bagiku, tapi dia telah berhasil menghancurkan hatiku.[]







Next Door to the RainWhere stories live. Discover now