BAB XXXVI

14.6K 2.3K 146
                                    

Sekarang seisi sekolah tahu bahwa Nathan sudah memutuskan hubungannya dengan Nayla. Cowok itu memutuskan Nayla di hadapan seisi kantin pada jam istirahat kedua. (Aku baru saja selesai memakan baksoku ketika drama itu berlangsung, omong-omong.)

Kurasa tidak ada satu pun orang yang mempertanyakan atau menyesali tindakan Nathan. Aku bahkan benar-benar bisa mendengar cewek-cewek mendesah lega atau memekik kegirangan. Bahkan kurasa aku juga mendengar cowok-cowok menggumamkan persetujuan (itu karena Nayla, bukan Nathan—kalau-kalau kau kebingungan).

"Cowok itu baru saja berbicara denganmu, kan?" tanya Megan begitu Nayla berlari ke toilet dan Nathan berjalan dengan santai ke meja teman-temannya.

"Begitulah," jawabku. "Darimana kau bisa tahu?"

"Aku hanya menebak. Kau terlambat datang ke kantin. Begitu juga Nathan. Dan cowok itu tahu-tahu langsung memutuskan hubungannya dengan Nayla di hadapan dunia." Megan menyeruput jus mangganya. "Apa yang dia katakan padamu?"

Aku menceritakan semua yang Nathan katakan padaku—termasuk tentang ciuman itu. Megan terdiam sejenak setelah aku selesai berbicara.

"Bagaimana perasaanmu sekarang?" Akhirnya Megan angkat bicara.

Aku mengangkat bahuku. "Aku tidak yakin."

"Aku percaya dengan cerita yang Nathan katakan padamu. Kalau Bu Neli memercayainya, kenapa kau tidak memercayainya juga? Bu Neli bukan orang bodoh, Ana," kata Megan.

"Aku tahu," sahutku. "Hanya saja, aku masih tidak yakin."

"Kurasa ciuman itu yang membuatmu tidak yakin," tukas Megan. "Padahal mungkin sebenarnya, kau tahu bahwa cerita Nathan benar. Tapi kau tidak ingin menganggapnya begitu karena Nathan menciummu—membuatmu kecewa, bingung, dan sebagainya."

Aku mengangkat bahuku. "Entahlah. Hanya saja, aku memang belum berniat memaafkannya."

"Bagaimana bisa—"

Aku merebut jus mangga milik Megan dan meminumnya. "Hei, minuman ini enak sekali!"

"Kembalikan padaku dan jangan mengalihkan topik pembicaraan!" seru Megan sambil berusaha mengambil gelas plastik berisi jus mangga miliknya yang berada di genggamanku.

Aku terkekeh lalu meminum jus mangga Megan lagi.

[']

Nathan terus-terusan berusaha meminta maaf. Dan aku terus-terusan menghindar darinya. Sebenarnya kadang, aku benar-benar bingung, apa yang sebenarnya membuatku marah. Nayla dan Rean sama sekali tidak menyangkal ketika Bu Neli menanyakan tentang perbuatan mereka di hadapanku dan Nathan beberapa hari yang lalu. Jadi semuanya sudah jelas. Nathan tidak bersalah... kecuali mungkin untuk ciuman itu.

Kurasa aku marah karena ciuman itu. Tapi setelah kupikir-pikir lagi, aku tidak yakin juga. Setiap aku memikirkan soal ciuman itu, benakku terus-terusan mengingat alasan Nathan menciumku—menghentikanku dari omong kosong, menghilangkan kesedihan dan agar aku berhenti menangis. Dua alasan terakhir memang cukup manis. Tapi entahlah, kurasa itu bukan alasan yang ingin kudengar. Tapi memang apa alasan yang ingin kudengar?

Tapi kalau memang Nathan tidak bersalah, untuk apa dia terus-terusan meminta maaf? Lagi pula, bukankah Nathan pernah berkata bahwa dia meminta maaf padaku karena dia merasa kalau aku memaafkannya, Nada juga memaafkannya? Siapa yang tahu kalau kali ini dia benar-benar ingin aku memaafkannya, atau Nada memaafkannya? Memikirkan kemungkinan kedua, entahlah, membuatku agak sedih.

Setelah kupikir-pikir ulang, mungkin aku butuh waktu dan jarak dari Nathan. Tapi Nathan mana mungkin mengerti? Serius, ciuman itu memberi efek yang sangat besar bagiku—dan jangan menghakimiku. Bayangkan saja kalau kau adalah gadis enam belas tahun yang bahkan tidak pernah berkencan dengan siapa pun. Kemudian pada suatu hari yang sudah buruk, seseorang menciummu ketika kau sedang menangis. Dan jangan lupa tambahkan kenyataan kalau kau tidak tahu dengan jelas perasaanmu setelah ciuman itu kepada si cowok yang menicummu. Atau bahkan, perasaanmu sebelum ciuman itu. Benar-benar membingungkan.

Harusnya Nathan tidak usah menciumku. Itu benar-benar mengacaukan pikirkanku. Tapi ketika memikirkannya lagi, aku menjadi tidak yakin, apakah memang itu yang benar-benar kuinginkan seandainya aku bisa mengulang waktu?

[']

"Hei."

Aku membalikkan tubuhku dan menatap Nathan yang masih duduk di kursinya. "Apa?" tanyaku.

"Aku sungguh-sungguh minta maaf," kata Nathan. "Aku tahu aku sudah sangat sering mengatakannya sampai-sampai aku yakin kau sudah muak dengan kata 'maaf', jadi ini terakhir kalinya aku akan mengucapkan maaf padamu. Aku tidak akan menganggumu lagi. Aku berjanji."

"Oke...." Aku tidak terlalu yakin apa yang harus kukatakan.

Nathan merogoh tasnya kemudian mengeluarkan selembar kertas dari dalamnya. Ia memberikan kertas itu padaku. "Maaf," katanya. Kemudian dia berlalu pergi.[]

Next Door to the RainWhere stories live. Discover now