BAB XXXVIII

15.8K 2.5K 150
                                    

Nathan menyukaiku. Nathan Adinata menyukaiku. Aku benar-benar tidak memercayai pengelihatanku sendiri. Mungkin ini hanya akal-akalan Nathan saja, agar aku merasa terpesona (bisa saja, kan?) kemudian memaafkannya.

Aku bahkan sampai menunjukkan surat itu kepada Megan. Aku berharap dia bisa mengatakan bahwa pengelihatanku salah, tapi dia malah bersorak kegirangan dan memelukku dengan heboh. Saat itu, mungkin kupikir bahwa sebenarnya aku menginginkan dia mengatakan bahwa pengelihatanku benar.

"Sudah kuduga!" seru Megan sambil melepaskan pelukannya. Hari ini hari Sabtu. Sudah lima hari sejak Nathan menyerahkan surat itu tapi aku baru menceritakannya pada Megan sekarang. Tapi dilihat dari ekspresi Megan, kurasa dia tidak keberatan. (Atau mungkin dia hanya lupa karena perhatiannya teralihkan oleh isi surat itu.)

Aku tersenyum kecil.

"Jadi, apakah kau sudah menjawabnya?" tanya Megan.

"Menjawab apa?" tanyaku.

"Menjawab pertanyaannya! Apakah kau memaafkannya?" Megan memasukkan beberapa butir permen cokelat ke dalam mulutnya. Matanya menatap mataku lekat-lekat.

"Aku belum menjawabnya," kataku.

"Kau harus menjawabnya, Ana!" seru Megan dengan heboh. "Surat ini benar-benar manis. Yah, walaupun sebenarnya surat ini terlalu kurang ajar untuk disebut surat cinta, tapi bagiku surat ini manis dengan caranya sendiri. Apakah kau tidak pernah menganggapnya begitu?"

Tentu saja aku pernah menganggapnya begitu. Aku selalu tersenyum sinting setiap kali membayangkan bagaimana Nathan duduk di meja belajarnya, menghabiskan semalaman untuk menulis surat untukku.

"Dan dia sudah mengatakan kalau dia menyukaimu," komentar Megan. "Aku juga yakin, jauh di dalam hati kecilmu itu, kau juga tahu kalau kau menyukainya. Kau benar-benar beruntung."

Ada sesuatu dari nada bicara Megan. "Ah, aku tahu!" seruku setelah beberapa saat. "Kenzo pasti belum juga mengatakan padamu kalau dia menyukaimu. Iya, kan?"

"Kalau dia sudah mengatakannya, aku pasti sudah menceritakannya padamu," sahut Megan. "Tapi lupakan saja dulu. Kita kan sedang membicarakanmu."

"Oke...."

"Jadi bagaimana?" Megan kembali memasukkan beberapa butir permen cokelat ke dalam mulutnya. "Kau juga menyukainya, kan?"

Aku mengangkat bahuku. "Entahlah."

"Kalau begitu, ada kemungkinan kau menyukainya," kata Megan.

Aku mengangkat alis kananku. "Aku baru saja mengatakan 'entahlah'. Yang artinya sama dengan, aku tidak tahu."

"Tepat," sahut Megan. "Kalau kau tidak menyukainya, kau tidak perlu berkata tidak tahu. Kau mengatakan tidak tahu yang berarti kau ada di tengah-tengah kemungkinan antara menyukainya atau tidak. Sepertiga dirimu menyukainya, sepertiga yang lainnya tidak menyukainya. Sepertiga sisanya berada di tengah-tengah, bingung harus memihak yang mana. Dan ke mana sepertiga terakhir ini pergi, sepenuhnya adalah keputusanmu."

[']

Megan terus-terusan mendesakku untuk setidaknya, memaafkan Nathan dulu. Masalah perasaanku atau perasaannya, kata Megan itu urusan belakangan. Kurasa dia benar.

Sudah dua minggu sejak menyerahkan surat itu, dan Nathan tidak pernah berbicara padaku. Hal itu membuatku agak panik. Bagaimana kalau dia berubah pikiran? Bagaimana kalau dia justru marah padaku? Bagaimana kalau... dia tidak menyukaiku lagi? Aku terus-terusan meyakinkan diriku sendiri kalau pertanyaan terakhirku benar-benar tidak penting.

Atau, apakah itu penting? Entahlah.

Rasanya agak aneh. Setelah Nathan terus-terusan meminta maaf padaku, dia tiba-tiba berhenti. Rasanya seperti kau memelihara seekor ayam yang setiap pagi membangunkanmu. Lalu pada suatu hari, ayammu pergi. Kau tetap bisa bangun dengan alarm. Tapi tetap saja berbeda. Seperti ada sesuatu yang... hilang.

[']

Apakah aku sudah siap berbaikan dengan Nathan?

Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling. Hanya ada aku di kelas. Sekarang jam istirahat kedua dan semua murid sedang mengisi perut mereka di kantin. Kurasa, sekarang adalah waktu yang tepat untuk melakukan ini.

Aku menarik napas dan menghembuskannya perlahan-lahan. Aku merobek secarik kertas dari buku catatanku lalu menulis 'ya' di kertas tersebut. Kemudian aku meraih ke dalam kolong mejaku dan mengeluarkan jaket Nathan.

Apakah aku sudah siap berbaikan dengan Nathan? Lagi-lagi aku bertanya pada diriku sendiri.

Sebelum aku sempat berubah pikiran, aku buru-buru berdiri lalu memasukkan kertas berisi jawabanku dan jaket Nathan ke dalam kolong meja cowok itu.

Dan sebelum aku berpikir untuk mengambil lagi kertas dan jaket itu, aku buru-buru melangkah ke luar kelas.

[']

Bel pulang sekolah berbunyi dengan nyaring. Aku merapikan barang-barangku dan berjalan menuju koridor. Aku tinggal beberapa langkah lagi menuju loker ketika seseorang menepuk bahuku.

Aku menoleh. Rean.

"Ada apa?" tanyaku.

Rean menarikku pelan agar kami menepi. "Aku benar-benar minta maaf dan menyesal soal acaramu waktu itu. Aku tidak seharusnya melakukannya."

Mungkin Nathan benar, mungkin aku memang sudah benar-benar muak dengan kata 'maaf'.

"Ya, baiklah," kataku.

Rean menatapku. Raut wajahnya menampakkan bahwa dia terkejut. "Apa kau serius? Kau tidak marah?"

"Aku sudah lelah marah," jawabku.

Rean tersenyum. "Terima kasih. Aku tahu kau mungkin tidak akan menganggapku temanmu. Tapi aku juga tahu kalau aku memang tidak pantas menjadi temanmu."

Aku menepuk bahu Rean sekilas. "Kau tetap temanku. Bagaimana pun juga, kau selalu bersikap baik padaku dulu. Aku yakin kau bisa bersikap seperti itu lagi kalau kau mau," kataku sambil tersenyum kecil. Kemudian aku berjalan menjauhi Rean.

Kalau aku bisa semudah itu berbaikan dengan Rean, kenapa aku sulit sekali berbaikan dengan Nathan? Apakah itu karena Nathan menciumku? Aku bertanya-tanya apakah semuanya akan berbeda jika Rean menciumku. Mungkin saja. Tapi, mungkin juga tidak. Aku tidak akan terlalu terkejut karena aku tahu, Rean menyukaiku. Tapi Nathan... ah, jadi sebenarnya, semua masalah ada pada Nathan.

Atau ada padaku?

Aku membuka pintu lokerku dan secarik kertas terjatuh. Aku memungut kertas tersebut dan membaca isinya.

Akhirnya! Bisakah kau menemuiku di aula segera setelah kau membaca pesan ini?

-N.A

[']

Aku berjalan mendorong pintu besar aula dan melangkah masuk. Di sanalah Nathan. Duduk di salah satu kursi di pojok aula.

Nathan mengangkat wajahnya ketika melihatku melangkah memasuki aula. Bahkan dari jarak sejauh ini, perut sialanku merasa mulas hanya karena melihat Nathan sedang memasang senyum Nathan Si Anak Baik.

"Hei," sapanya.[]

Next Door to the RainWhere stories live. Discover now