Potret

3.6K 417 14
                                    

"Hei, bolehkah aku meminjam kameramu sebentar?"

Gerakan Jimin terhenti mendengar suara dari belakangnya. Ia menoleh pada gadis berambut oranye yang menatapnya penuh harap.

"Ini?" Ia menunjuk kamera ditangannya. Gadis itu mengangguk. "Boleh, kan?" tanya gadis itu lagi. Namun Jimin tak langsung menyetujuinya. Ia memandang gadis itu penuh selidik. "Untuk apa?"

"Aku harus mengabadikan beberapa objek, kalau kau tidak keberatan untuk meminjamkan kameramu padaku..."

Jimin diam sambil melirik kameranya. Bukannya ia tidak ingin meminjamkan benda itu, tapi ia harus mempertimbangkan sesuatu yang akan terjadi nanti. Bisa saja ini merupakan modus pencurian yang baru atau hal-hal buruk lainnya. Percayalah, dunia ini sangat kejam. Bahkan gadis yang menurutmu polos bisa saja menjadi gadis yang mengerikan. Kita tidak bisa percaya pada orang lain begitu saja.

Lelaki itu mulai bimbang. Apakah ia akan meminjamkan kameranya atau tidak, karena gadis berambut oranye didepannya terlihat sangat berharap padanya. Jimin mengalihkan pandangannya lagi pada gadis itu, kemudian menghembuskan nafasnya panjang.

"Baiklah, kau boleh memakainya..."

Sebuah senyum manis merekah diwajah gadis itu.

"...asalkan aku juga ikut bersama kameraku..."

Gadis itu mengangguk semangat. Dengan sangat terpaksa, Jimin menyodorkan kamera mahalnya. Sejujurnya, ia sedikit tidak rela benda itu disentuh oleh orang lain. Ayolah, kamera itu adalah hasil tabungannya selama delapan bulan. Wajar jika ia tidak rela benda itu disentuh apalagi dipinjam.

"Namaku Kang Seulgi. Kau?" Gadis itu menyodorkan tangannya.

"Jimin. Park Jimin," jawab Jimin tanpa membalas sodoran tangan gadis bernama Seulgi itu. "Sebaiknya kau segera gunakan benda itu sebelum kuambil kembali."

Seulgi cemberut. "Baiklah, Park Jimin. Kau ikut bersamaku, kan? Kalau begitu ayo kita ke pantai!"

Jimin berjalan mengekori Seulgi kemanapun gadis itu pergi. Pantai, jalanan, tebing, bahkan sampai restoran pun mereka datangi. Disaat Jimin lelah dengan jalan kaki mereka yang panjang, justru gadis itu masih sangat bersemangat memotret objek disekitarnya.

"Hei! Tidak bisakah aku mendapatkan sedikit istirahat?" keluh Jimin sambil mendudukkan tubuhnya pada pinggir jembatan. Ia mengusap keringat yang mengucur dari keningnya. Ini sudah menjelang malam, tapi tubuhnya tidak berhenti berkeringat. Tentu saja merupakan hal wajar bagi lelaki yang bekerja sepanjang hari dibalik meja dan berudarakan dinginnya air conditioner.

Melihat Jimin yang mengikutinya sejak tadi tengah duduk, Seulgi mengambil posisi disamping lelaki itu. "Masih belum puas mengabadikan objek?" sindir Jimin. Gadis itu menggeleng kecil. "Aku sudah selesai. Dan sepertinya kameramu juga tidak akan bertahan lama."

Jimin mengambil kameranya dari tangan Seulgi. Memang benar baterai kameranya hampir habis, tapi yang menjadi perhatian Jimin adalah hasil potretan yang gadis itu ambil. Semuanya terlihat sedikit aneh. Sebuah keluarga yang tengah berjemur dipantai, sebuah keluarga yang sedang tertawa direstoran, sebuah keluarga yang sedang berjalan sambil berpegangan tangan. It's all about family.

"Kenapa kau memotret keluarga orang yang tak kau kenali?" tanya Jimin.

"Because it's heartwarming. Kau lihat bagaimana mereka tertawa satu sama lain? Saling melemparkan kasih sayang, isn't it good?" jelas Seulgi sambil berseri-seri. Gadis itu menahan nafasnya sambil memandang langit yang gelap.

"Dengan mengabadikan momen seperti itu cukup membuatku bisa merasakan bagaimana rasanya memiliki keluarga. Terkadang aku bingung dengan orang yang membenci keluarganya sendiri, sedangkan kami, anak yatim-piatu selalu berharap bisa memiliki keluarga..."

Jimin terhenyak. Perkataan Seulgi sedikit menohok hatinya. Ia memang jarang menghubungi keluarganya, atau bahkan tidak pernah.

"Kau benar. Kami memang tidak bersyukur."

Rambut oranye milik Seulgi berterbangan dihembus angin malam. Gadis itu menolehkan wajahnya pada Jimin. "Park Jimin, terima kasih telah meminjamkan kameramu padaku. Aku harus pergi sekarang." Seulgi bangkit dan berjalan meninggalkan Jimin.

"Apa yang harus kulakukan dengan foto-foto ini?" ucap Jimin cepat sebelum Seulgi pergi menjauh.

"Cuci foto-foto itu kemudian berikan padaku," balas Seulgi. Ia menyerahkan kertas alamatnya, lalu melangkah semakin menjauh.

"Kau ingin aku memberikannya secara langsung atau tidak?"

Seulgi tersenyum mendengar pertanyaan Jimin. "Are you taking me to a date?"

Sambil menganggukkan kepalanya, Jimin berkata, "Next month, in same date, same place and same time. Nice to see you, Kang Seulgi."

Kau tahu, Jim? Masih ada satu potret lagi yang harus kuabadikan. Kau, aku dan tangan-tangan mungil diantara kita.

truly SUNSHINE »seulmin«Where stories live. Discover now