Midnight Eve (midnight series)

3.5K 391 9
                                    

Aku memandangi pohon berhiasakan berbagai hiasan dengan sendu. Kusentuh bola-bola yang menggantung disetiap batangnya. Oh, bukankah sangat indah memandangi pohon natal dimalam natal yang berhiaskan salju? Sekali lagi aku menghela nafas. Kulirik jam yang hampir menunjukkan seperempat malam. Sepertinya Sinterklas yang akan lebih dulu muncul, bukan dirimu. Aku benar, kan, Jimin?

Kuletakkan kotak merah bertuliskan nama Jimin dibawah pohon tersebut. Andai dia tahu bagaimana aku menghias pohon ini, meletakkan bintang diatasnya, menggantungkan bola-bola ditiap dahannya, melilitkan lampu-lampu kecil yang hampir membuatku tersetrum. Semuanya kulakukan agar rumah sepi ini terasa indah.

Ya, Jimin memang tidak akan datang. Berapa lama pun aku menunggu dirumahnya, dia tidak akan pernah muncul. He was too busy, even for christmas.

Kuraih ponsel sambil memakai mantelku. Menelfon orang yang rela kutinggalkan dimalam natal.

"Hai, Ibu..."

I hope she won't say those sad merry christmas to me.

"Seulgi-ah, selamat natal!"

It was too late.

"Selamat natal juga, Ibu," balasku tak bersemangat. But indeed, she's my mom. She knew what going on through her daughter.

"Mengapa kau terdengar sedih. Apa natalmu berjalan lancar?" tanyanya padahal dia tahu bahwa semuanya berantakan. Aku menggeleng lemah. "Aku tidak ingin membicarakannya, Bu..."

"Kalau begitu datanglah. Pesta disini masih berjalan sangat panjang..." Ibuku berkata dengan bijak. Oh, aku merasa sangat bersalah padanya karena meninggalkannya dimalam natal. Apalagi ini adalah natal pertamanya setelah kepergian Ayah. "Aku akan menyisakan satu kursi untukmu," lanjutnya lagi.

Aku mengangguk. "Baiklah, tapi sepertinya aku akan sedikit terlambat. Jalanan masih sangat macet karena natal."

Kututup sambungan dengan Ibuku, lalu merapihkan mantelku agar aku tidak kedinginan diluar sana. Kupandang sekali lagi pohon natal yang berkerlap-kerlip dan dengan berat hari kumatikan lampu yang menyala disekeliling pohon milik-ku. Juga kubersihkan sisa-sisa confetti yang sengaja kutabur untuk menyambut natal kali ini bersama Jimin.

Diam-diam aku menyelipkan sebuah kartu ucapan natal diantara dahan-dahan pohon sebelum meninggalkan rumah Jimin.

Happy Christmas, Jimin

Hope you didn't forget ur christmas this year.

Ur bestfriend,

Seulgi

##

"Seulgi-ah!"

Sambutan Ibu didepan pintu langsung membuat tubuhku hangat. Wanita itu memelukku erat seakan kami tidak pernah bertemu sebelumnya. "Wah, lihatlah anakku sekarang ini. Kau semakin cantik," pujinya terus menerus. Aku hanya bisa tersenyum sambil melepaskan tangannya dari kedua pipiku.

"Maaf aku terlambat, Ibu. Jalanan benar-benar macet," kataku.

"Tidak apa-apa, tapi maaf, Sayang, kami meninggalkanmu untuk makan malam tadi. Jadi kau sepertinya harus makan sendirian..."

Aku mengangguk mengerti. Ibu membantuku melepaskan mantel cokelat yang kukenakan dan menggantungnya pada gantungan didekat pintu. Saat aku memasuki rumah, aku langsung disambut oleh dua anak kembar yang berlari kearahku.

"Bibi Seulgi! Bibi Seulgi!" seru kedua anak itu sambil memelukku. Aku balas memeluk mereka. "Selamat natal, Lenna, Lenny," ucapku girang.

"Bibi Seulgi, mengapa kau baru datang?" tanya Lenny, si kembar.

"Bibi terjebak macet sepanjang jalan. Dan, oh, maafkan Bibi, Bibi lupa untuk membelikan hadiah natal untuk kalian..."

Dua kembar itu mengangguk lucu. "Kau bisa menggantinya lain hari," kata Lenna. Aku hanya bisa tersenyum setuju sebelum akhirnya dua kembar itu berlari pergi. Aku bangkit dan hendak menghampiri Ibu yang sedang sibuk menyiapkan makanan untukku, namun bel rumah berbunyi.

Karena aku yang paling dekat dengan pintu, maka aku yang harus membukanya. Bel rumah berbunyi lagi.

"Sebentar―"

Aku terkejut.

"Jimin?"

Didepanku kini berdiri lelaki yang masih mengenakan jas kerjanya. Dengan nafas tersengal-sengal, Jimin menyisir rambut hitamnya kebelakang sambil tersenyum. "Oh, God, Kang Seulgi, you're scared me!" gumamnya. Ia menghembuskan nafas panjang.

"Jimin, ada apa?" tanyaku yang bingung dengan sikapnya.

"I was looking for you everywhere. And I almost blame myself because I thought I lose you," ujarnya. Ia masih berusaha mengatur nafasnya yang memburu. "Kang Seulgi, why did you leave?"

"I didn't. I was waiting for you, but you didn't showed up. So, I had to leave..." jelasku. Aku masih kecewa dengannya malam ini, jadi aku memutuskan untuk tidak mempersilahkannya memasuki rumahku. "Lalu, apa yang kau lakukan disini?"

Aku menghindar dari tatapan kedua mata Jimin. "Tentu saja untuk merayakan natal bersamamu!" kata Jimin bersemangat.

Namun aku tidak akan terbuai lagi. "It's midnight, Jim, christmas was over." Kututup kembali daun pintu, tapi kaki lelaki itu menahannya. "Hey, setidaknya kau mempersilahkanku masuk. Aku berlari dari apartementku kesini hanya untuk memastikan keberadaanmu!"

"Pulanglah, Jimin. Aku tidak pernah memintamu untuk mencariku."

Kupaksakan untuk menutup pintu walaupun kaki Jimin terjepit. Akan tetapi tenaga lelaki itu lebih kuat, hanya dengan satu dorongan, ia bisa membuka kembali pintu rumahku.

"Bagaimana mungkin aku tidak mencarimu, aku harus bertemu denganmu malam ini!" tegas Jimin. Aku memandangnya kesal. "Lalu apa yang kau inginkan?!" seruku yang mengundang seluruh pandangan keluargaku yang hadir. Kini semua mata tertuju pada kami. Bahkan Ibu meninggalkan makanannya dan berjalan menghampiri kami dengan khawatir.

Lalu, tanpa kuduga, Jimin mengeluarkan sebuah kotak merah beludru. Kemudian ia berlutut didepanku, didepan Ibuku, didepan seluruh keluarga besarku, sambil berkata,

"I want to hear you say 'yes' as my christmas gift. Kang Seulgi, would you change our bestfriend title become a lover title?"

Oh, Santa Claus, when will you come because my Santa was here.

truly SUNSHINE »seulmin«Where stories live. Discover now