0.1

20.4K 1.7K 178
                                    

-

BAB SATU

"Whatever happens in your life, no matter how troubling things might seem, do not enter the neighborhood of despair. Even when all doors remain closed, God will open up a new path only for you. Be thankful!"

― Elif Shafak, The Forty Rules of Love

-

Jakarta,

delapan tahun sebelumnya


Sekelebat pemandangan yang terlihat buram karena kecepatan mobil yang dinaikinya adalah satu-satunya pemandangan selama setengah jam terakhir. Dia memang sudah terlambat kurang lebih sepuluh menit, sehingga dia tidak mengerti kenapa mamanya masih harus menyetir dengan ugal-ugalan padahal toh hasilnya akan sama saja — dia akan tetap terlambat. Tapi dia hanya duduk diam sambil bertopang dagu menatap ke luar jendela, perlahan merasa pusing karena matanya kewalahan mengikuti gerakan pohon yang berlari-lari menjauhinya.

Suara Elvis Presley adalah satu-satunya suara yang mengisi keheningan di dalam mobil sedan tersebut. Mamanya adalah fans berat Raja rock and roll itu, jadi dia tidak bisa berkomentar banyak walaupun dia sudah bosan setengah mati.

Mobil berbelok tajam di sebuah persimpangan, hampir saja menggulingkan sebuah tempat sampah milik penduduk setempat kalau saja Mama tidak cepat-cepat mengerem. Tiga blok setelahnya, pegas rem diinjak dalam-dalam sampai mobil berdecit. Dia menggenggam erat sabuk pengamannya, mendelik ke arah mamanya yang tengah meringis sambil mematikan mesin mobil, lalu menoleh untuk melihat pemandangan di luar jendela.

Sudah sampai tujuan. Dia baru tahu kalau demi sebuah kerja kelompok gadungan dia harus nyaris kehilangan nyawa dan hampir melindas tempat sampah.

Mama keluar dan memutar untuk membukakan pintu untuknya. Dia melepas sabuk pengaman dan meraih tasnya dari jok belakang, lalu melompat turun dan menggenggam tangan mamanya. Mama merunduk sejenak untuk merapikan rambut anaknya itu sebelum akhirnya mereka berdua melangkah menuju rumah yang terletak di daerah perumahan yang kelewat sepi itu.

Dia memencet bel, dan harus berjinjit untuk melakukannya. Untungnya dia tidak perlu berjinjit lama-lama karena kemudian pintu terbuka setelah bel kedua.

Seorang wanita berambut pendek tersenyum ramah. Wangi karamel dan keju menguar dari dalam rumah, entah apakah itu parfum wanita itu ataukah makanan yang berada di dalam. Dia membalas senyum sang pemilik rumah sambil mengayun-ayunkan tangannya yang berada dalam genggaman mamanya.

"Langit, ya?"

Dia mengangguk. "Gita."

"Oke, Gita. Teman-teman udah menunggu di dalam. Masuk, yuk?"

Gadis kecil yang dipanggil Gita itu mendongak untuk menatap mamanya. Mama tersenyum tipis, kemudian bergerak untuk melepaskan jaket anak semata wayangnya tersebut. "Mama ada urusan setelah ini. Nanti Mama jemput, oke?"

Bibir Gita memberengut sedikit. "Janji?"

"Iya, Sayang. Masuk, ya? Udah ditungguin, tuh."

Gita menyempatkan diri untuk menatap mamanya lebih lama. Rambut panjang gelapnya, matanya yang teduh dan hangat, tangannya yang mengelus rambutnya dengan penuh kasih sayang. Gita ingin sekali memeluk mamanya, tapi dia malu. Jadi, dia hanya mengangguk dan membiarkan dirinya diantar menuju ke dalam rumah, sementara mamanya melambai-lambaikan tangan ke arahnya di depan rumah.

Indra ke-6Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang