2.3

3.9K 615 44
                                    

BAB DUA PULUH TIGA

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

BAB DUA PULUH TIGA

"The future belongs to those who believe in the beauty of their dreams."

― Eleanor Roosevelt

-

Jakarta,

delapan tahun sebelumnya


Gita bertopang dagu sambil berjongkok di depan pintu samping rumahnya yang mengarah ke taman. Dia menatap Muffin yang sedang menikmati makanannya dengan lahap, sambil sesekali melempar tawa geli ke arah Indra sampai-sampai matanya hanya nampak segaris saking senangnya. Sementara Indra, yang duduk di seberangnya sambil mengikuti posisi Gita yang berjongkok dan memperhatikan Muffin, ikut membalas senyum gadis itu dengan sama lebarnya.

"Gimana sekolah kamu hari ini?" tanya Indra begitu Muffin berpindah untuk meminum air mineral yang dituangkan Gita tadi pada sebuah mangkuk plastik yang tak terpakai. Anak laki-laki itu menjulurkan tangannya dan mengelus-elus kepala anjing tersebut tanpa mengalihkan pandangannya dari Gita.

Senyum Gita sedikit memudar, kemudian dia pun mengedikkan bahu dengan cuek. "Begitu, lah."

Indra mendengus sambil bangkit berdiri. Diraihnya tas berisi perlengkapan-perlengkapan anjing yang dibelinya tadi pagi, kemudian dia pun mengambil sebuah tali dan mulai menyambungkannya dengan kalung yang kini sudah terpasang pada leher Muffin. Anjing itu menggonggong sejenak karena acara minumnya diganggu.

Indra tersenyum puas begitu tali itu sudah tersambung dengan baik. Lalu, dia pun menyodorkan tangannya pada Gita untuk membantu gadis itu bangkit.

"Ayo, kita jalan-jalan sama Muffin aja," ajak Indra.

Gita mengerucutkan bibir, namun tak urung tetap menyambut uluran tangan Indra dan bangkit berdiri dengan sedikit bantuan berupa tarikan dari anak laki-laki itu.

"Oke, ayo berangkat!" seru Indra dengan penuh semangat. Dirangkulnya Gita dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya menggenggam erat tali Muffin dan mulai menarik anjing itu agar mengikuti langkah mereka berdua.

Gita mengulum senyumnya sambil menyembunyikan wajahnya di balik rambutnya yang sedikit bergerak-gerak tertiup angin sore. Dia melangkah pelan, mengikuti langkah Indra. Keduanya berjalan dalam keheningan, dan hanya ditemani oleh suara Muffin yang sibuk berlari ke sana ke mari sambil menjulurkan lidahnya.

Tiba-tiba, Gita merasakan dada Indra bergetar. Gadis itu pun mendongak, dan mendapati bahwa temannya itu tengah tertawa kecil.

"Kenapa?" tanya Gita dengan kedua alis bertaut.

Indra ke-6Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang