1.1

5.5K 820 50
                                    

-

BAB SEBELAS

"They probably have me up on a poster by now. Warning: this girl is emotionally unstable. Do not allow near hot beverages."

― Abby McDonald, Getting Over Garrett Delaney

-

Jakarta,

delapan tahun sebelumnya


Di hari kelima, Indra menunggu Gita di depan kamar rawat mama gadis itu. Senyumnya cerah begitu Gita melangkah keluar dari ruangan tersebut untuk menghampirinya. Namun, senyum itu sedikit memudar ketika melihat wajah Gita yang agak muram.

Alis Indra bertaut, dan tangannya menarik tangan Gita untuk menuntunnya menuju kursi tunggu di depan ruangan. "Gita? Kamu kenapa?"

"Nggak apa-apa," jawab Gita, kemudian menghela napas. "Maaf ya, kemarin aku nggak ketemu kamu. Aku ketiduraaan."

Indra melongo, lalu tertawa. "Santai aja, kali."

Gita memanyunkan bibirnya. "Sekarang mau ke mana?"

"Ah, iya. Yuk," ajak Indra dan mulai berjalan menyusuri koridor. Gita mengekorinya dengan cepat, membuat rambutnya bergoyang-goyang bagaikan model iklan sampo.

Langkah keduanya berhenti di depan sebuah ruang musik. Indra membuka pintunya sedikit untuk mengintip, lalu setelah dirasakannya aman, dia pun mengisyaratkan Gita untuk ikut masuk. Dengan penasaran, Gita berjalan masuk dengan ragu sambil memegangi kaus bagian belakang milik anak laki-laki yang berjalan di depannya.

Ruang musik itu gelap. Namun, Gita masih dapat melihat isinya walaupun samar-samar. Terdapat sebuah piano di ujung ruangan, dan juga beberapa kursi yang ditumpuk-tumpuk di ujung ruangan yang satunya lagi. Gitar-gitar dengan beberapa warna dan jenis tergantung di dinding. Selain itu, ruang musik tersebut tidak diisi apa-apa lagi. Mungkin, agar para pasien berkursi roda tidak repot kalau mau berkunjung ke sini.

Indra meraba-raba dinding, mencoba mencari saklar lampu. Dua detik setelahnya, ruangan dihiasi cahaya terang benderang. Indra dan Gita harus mengerjapkan mata untuk menyesuaikan perubahan tersebut.

"Ndra?" panggil Gita setelah matanya dapat melihat dengan jelas. "Kita mau ngapain di sini?"

Indra melangkah menuju piano. Tangannya yang kurus mengusap tutup piano itu dengan pelan, lalu membukanya. "Dari yang sering aku dengar dan lihat, katanya dengan melakukan hal yang kita suka, pasti rasa sedih di dalam hati bisa hilang. Walau sebentar, sih."

"Kamu suka main piano?" tanya Gita sambil duduk di sebelah Indra yang mulai menekan-nekan tuts dengan asal, menguji piano yang kelihatannya sudah agak berdebu itu.

"Suka," angguk Indra, "banget."

Gita ber-'oh' pelan. "Terus, kamu kenapa sedih?"

"Aku nggak sedih," jawab Indra cepat sambil menautkan alisnya.

"Tadi kata kamu, melakukan hal yang kita suka, bisa bikin rasa sedih di hati hilang. Kamu sedih kenapa?"

"Oh," Indra menyengir. "Aku sih, cuma mau main aja. Perkataanku barusan itu buat kamu, soalnya kamu kelihatan sedih banget. Kamu sedih kenapa?"

Gita mendengus. "Pertanyaannya nggak kreatif. Lagian, aku nggak sedih, kok! Aku kan cuma merasa bersalah, karena kemarin itu, lho."

"Yaudah," Indra mengalah sambil memposisikan jari-jarinya di atas tuts. "Gimana kalau aku main piano, terus kamu gambar aku? Bawa buku gambar, 'kan?"

Indra ke-6Where stories live. Discover now