3.1

3.1K 594 84
                                    

BAB TIGA PULUH SATU

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

BAB TIGA PULUH SATU

"A lie for a good reason is better than a truth that destroys."

― Pawan Mishra, Coinman: An Untold Conspiracy

-

Jakarta,

delapan tahun sebelumnya


Gita meletakkan sebuah keranjang berukuran cukup besar di bawah pohon tempat Indra tengah memanjat saat ini. Gadis itu mendongak, memperhatikan sosok Indra yang melompat dengan lincah, memilah-milah dahan yang kuat untuk dipijaki. Beberapa kali, Gita dapat mendengar temannya itu mengomeli semut yang menggigit kaki atau tangannya, dan hal tersebut cukup menjadi hiburan tersendiri bagi Gita.

"Udah ada keranjangnya?" seru Indra dari atas pohon. Anak laki-laki itu menjengukkan kepalanya dari balik dedaunan, membuat senyum Gita terbit seketika.

"Udah, dong."

Indra tersenyum puas. "Oke. Nanti, siap-siap tangkap, ya."

Selama beberapa menit setelahnya, Indra sibuk mencari buah jambu yang matang. Sementara Gita harus menunduk sesekali untuk menetralkan lehernya yang terasa sakit dan pegal akibat mendongak terlalu lama. Ketika Indra tak kunjung memberi aba-aba agar ia bersiap, Gita pun memutuskan untuk duduk di rumput.

Akhir minggu ini, Gita dan kedua orangtuanya memutuskan untuk pergi ke rumah kakek dan nenek Gita. Bulan ini adalah jatah bagi mereka untuk mengunjungi kakek dan nenek dari pihak Mama. Dan seperti yang biasanya terjadi setiap beberapa lama sekali, pohon jambu di depan rumah kedua kakek-nenek Gita tersebut tengah berbuah amat banyak.

Karena bosan, Gita pun memutuskan untuk membantu memetik beberapa buah. Lagipula, Gita merasa kasihan pada papanya yang harus merawat Mama, dan kakek-nenek juga sepertinya sudah tidak se-kuat dulu. Selain itu, Gita juga dibantu oleh Indra, jadi keputusan ini semacam win-win solution bagi kedua belah pihak.

Menghabiskan waktu bersama Indra juga lebih mengasyikan daripada menonton Kakek bermain kartu dengan Papa dan Mama.

"Oh, aku selalu lupa buat nanya ini," ucap Indra tiba-tiba. Lengannya terjulur untuk memetik satu buah jambu, "tapi, apa kamu nggak ada masalah apa-apa di sekolah?"

Gita mendongak menatap Indra sejenak, sebelum akhirnya kembali memainkan rumput dengan jemarinya. "Nggak, kok."

"Dan kamu murung begitu tanpa alasan?"

"Ya," angguk Gita percaya diri.

Indra tertawa. "Yah, oke. Tapi, kamu ingat 'kan, kalau aku akan selalu ada buat jadi tempat cerita kamu? Kalau aku akan selalu dukung kamu?"

Indra ke-6Where stories live. Discover now