3.7

3.2K 574 100
                                    

BAB TIGA PULUH TUJUH

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

BAB TIGA PULUH TUJUH

"There is only one kind of shock worse than the totally unexpected: the expected for which one has refused to prepare."

― Mary Renault, The Charioteer

-

Jakarta,

delapan tahun sebelumnya


Sambil menunggu sepupunya Aiden pulang, Gita menghabiskan waktunya dengan membaca buku bersama Indra. Mereka duduk bersebelahan dalam diam, tenggelam dalam bacaan masing-masing. Kaki Gita yang tidak mencapai lantai bergerak sesuka hatinya, dan hampir saja menendang piring berisi donat yang telah disediakan Tante Aria.

Suasana rumah Aiden yang terasa hangat itu terasa sedikit sepi sejak Tante Aria pergi ke kamarnya untuk mandi. Gita tidak tahu harus melakukan apa lagi, meskipun Indra sudah mengajukan beberapa usulan dan ide permainan yang dapat mereka lakukan.

Dengan helaan napas panjang, Gita menutup buku cerita rakyatnya dengan cepat, sebelum akhirnya tangannya meraih donat terakhir dari piring. Sebelum Gita sempat membuka mulutnya, atau bahkan mendekatkan donat tersebut ke mulutnya, Indra menahan lengan Gita dengan lembut.

"Cuci tangan dulu. Nanti kumannya masuk ke perut!" ucap anak laki-laki itu dengan wajah serius.

Gita buru-buru meletakkan donatnya kembali di piring. Ia baru akan berdiri dan pergi ke dapur ketika tiba-tiba sebelah alisnya terangkat. "Kamu nyuruh aku cuci tangan bukan supaya kamu bisa comot donatku, 'kan?"

"Nggak, lah," sahut Indra sambil mengibaskan tangannya seperti mengusir seekor lalat. "Aku jagain. Udah, sana cuci tangan."

Gita mengerucutkan bibir, namun tak urung tetap bangkit berdiri dan beranjak menuju dapur. Gita melangkah cepat ke arah westafel, mencuci tangannya dengan air dan sabun, kemudian mengelap tangannya yang basah tersebut ke pakaiannya sambil kembali berjalan menuju ruang keluarga.

Indra menautkan alis tanda tak setuju ketika melihat kelakuan Gita. "Elap pakai tisu."

"Sabun kan udah membunuh bakteri dan kuman. Yang penting udah cuci tangan," sahut Gita cuek, kemudian meraih donatnya dan segera melahapnya. Matanya terpejam lucu begitu mulutnya sudah mulai mengunyah, menandakan bahwa ia menyukai makanannya tersebut.

Donat Gita baru termakan setengah ketika tiba-tiba bel pintu depan berbunyi. Tante Aria telah berpesan agar tidak membukakan pintu bagi siapapun selama ia tidak ada, sehingga Gita terus melanjutkan makannya tanpa mempedulikan bunyi tersebut. Sayangnya, bel tersebut terus berbunyi — dari yang awalnya hanya pelan dan tenang seperti bunyi bel pada umumnya, sampai akhirnya bel itu ditekan bertubi-tubi hingga menimbulkan suara yang memusingkan kepala.

Indra ke-6Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang