2.9

3.2K 545 23
                                    

BAB DUA PULUH SEMBILAN

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

BAB DUA PULUH SEMBILAN

"Alone we can do so little; together we can do so much."

― Helen Keller

-

Jakarta,

delapan tahun sebelumnya


Suasana kelas ramai hari ini. Ketika Gita meletakkan pantatnya di atas kursi setelah menaruh tasnya di atas permukaan meja, beberapa anak perempuan langsung berkerumun di sekitarnya. Seolah-olah mereka adalah laron dan Gita merupakan satu-satunya lampu yang menyala dalam ruangan.

"Gita, katanya kamu menang lomba gambar, ya? Selamat lho!" ucap Rere, menimpa semua suara yang bersahut-sahutan menyelamati Gita atas prestasi yang baru diraihnya.

Gita tersenyum senang. "Makasih, Rere. Makasih, semua!"

"Udah kubilang, gambaranmu bagus!" celetuk Kayla dengan penuh semangat.

"Dapat hadiah, nggak?" tanya Stefi.

Gita menyengir. "Makasih, Kayla. Kayaknya sih iya, Stef, tapi aku nggak tahu juga. Belum bahas apapun sama mama dan papaku."

"Mungkin kejutan," simpul Kayla percaya diri.

Vero tertawa. "Pasti ada hadiah, lah. Besok Gita pasti datang bawa satu boks permen dan bagi-bagiin semuanya buat kita."

Rere menyikut Vero. "Makan mulu yang kamu pikirin."

"Yah, soalnya kan berbagi makanan artinya berbagi rezeki," sahut Vero membela diri.

Kemudian, percakapan anak-anak perempuan terpaksa terhenti begitu bel masuk berbunyi. Semuanya langsung kembali ke tempat duduk masing-masing, sementara Rere tersenyum penuh arti pada Gita. Gita membalas senyum temannya itu dengan salah tingkah.

Ketika kelas sudah beranjak hening dan guru mata pelajaran selanjutnya sudah berjalan menuju kelas, tiba-tiba Elang bangkit dari duduknya. Puluhan pasang mata menatapnya dengan penasaran sekaligus bingung, sementara pandangan Elang fokus tertuju pada Gita.

"Kamu pasti dibantu sama temanmu yang nggak kelihatan itu!" tukas Elang.

Gita memandang Elang dengan tidak percaya. "Apa maksud kamu?!"

"Gambaranmu nggak bagus-bagus amat, kenapa bisa menang?! Pasti kamu curang!"

Seisi kelas terkesiap. Gita mengepalkan tangannya untuk menahan air matanya yang akan merebak dengan cepat.

"Apa sih, masalahmu? Padahal kamu dulu bilang kalau gambaranku bagus!" seru Gita. Suaranya bergetar.

Elang memperhatikan Gita. Seulas senyum puas terpampang di bibirnya. "Aku bohong. Harusnya, kamu sadar diri! Kamu nggak punya jiwa seni, tahu? Kamu itu bukan mamamu!"

Indra ke-6Where stories live. Discover now