1.5

4.5K 713 73
                                    

-

BAB LIMA BELAS

"A child has no trouble believing the unbelievable, nor does the genius or the madman. It's only you and I, with our big brains and our tiny hearts, who doubt and overthink and hesitate."

― Steven Pressfield, Do the Work

-

Jakarta,

delapan tahun sebelumnya


Gita sedang asyik mengobrol bersama Rere di kelas ketika tiba-tiba salah seorang anak laki-laki teman sekelas mereka, Petra, menghampiri keduanya dengan dagu terangkat tinggi. Di belakangnya, sambil mengelilingi meja milik Elang, sebagian besar anak laki-laki lainnya tengah mengintip sambil berbisik-bisik.

Mata Gita beralih dari kerumunan itu untuk menatap Petra. Gadis itu dapat melihat Rere yang tengah menautkan alis lewat ekor matanya.

"Langit," ucap Petra jelas dan tegas.

Gita mengangguk pelan. "Kenapa, Tra?"

Petra menoleh untuk melirik teman-temannya di belakang. Dia menyempatkan diri untuk memelototi mereka satu-satu, kemudian menggumamkan umpatan-umpatan dengan cara berkomat-kamit sambil kembali menatap Gita.

"Kata Elang, kamu ngomong sendiri, ya?" sembur Petra setelah selesai berkomat-kamit.

Gita mencengkeram selang tiup pianikanya. Matanya refleks bergerak untuk menatap Elang tanpa disuruh, dan matanya pun beradu pandang dengan milik anak laki-laki itu sebelum akhirnya Gita segera memutus kontak tersebut dengan cepat-cepat memfokuskan diri pada Petra.

"Nggak, tuh!" sahutnya.

Alis Petra terangkat sebelah. Anak laki-laki itu menoleh ke belakang lagi, mengedikkan dagunya seolah-olah tengah bertanya mengenai apa yang harus dia lakukan sekarang. Temannya yang duduk di sebelah Raffa, Neo, mengerutkan alisnya sambil menggesturkan gerakan maju dengan kibasan tangan.

Mungkin artinya "Serang terus!", karena Petra kembali membuka mulut setelahnya.

"Jangan bohong. Katanya, kamu ngobrol sama yang namanya Indra. Padahal nggak ada tuh, orang yang lagi ngomong sama kamu tadi pagi!"

Mata Gita memanas. "Aku emang nggak ngomong sendiri! Terserah kalau nggak percaya!"

Rere menggenggam tangan Gita dan mengusapnya. Lalu, dia menimpuk pundak Petra dengan album Love and Berry berwarna merah jambu miliknya, sampai-sampai Petra meringis kesakitan. "Kalau Gita bilang nggak, ya nggak! Jangan ganggu, dong!"

Petra misah-misuh tidak jelas sebelum akhirnya berbalik untuk kembali duduk bersama teman-temannya. Gita memalingkan wajahnya yang memanas karena marah.

Kenapa mereka mengurusi masalahnya? Lagipula, Gita memang tidak berbohong — dia memang tidak berbicara sendiri! Kenapa Elang harus mencari-cari masalah dengan berkata kalau Gita berbicara sendiri? Bercandanya tidak lucu. Elang bahkan tidak menatap Indra lebih dari tiga detik tadi pagi, dan sekarang dia mau menyimpulkan semuanya sendiri?

Ah, Gita jadi kesal rasanya.

Rere menyodorkan botol minum Gita pada pemiliknya. Gita menyambutnya dengan seulas senyum tulus, sebelum akhirnya meneguk isinya. Setelah dahaganya hilang dan emosinya mereda, Gita menoleh ke arah Elang. Anak laki-laki itu menatapnya dengan sebelah alis terangkat.

Indra ke-6Where stories live. Discover now