2.0

3.9K 695 51
                                    

-

BAB DUA PULUH

"Happiness is a warm puppy."

― Charles M. Schulz

-

Jakarta,

delapan tahun sebelumnya


Gita tersenyum senang sambil memperhatikan secarik kertas yang berada dalam genggamannya. Angin meniup rambutnya dengan perlahan, sementara kakinya bergerak mendorong tanah agar ayunannya terayun. Matanya kemudian teralihkan ke sekeliling taman yang ramai oleh anak-anak seusia dan juga lebih muda darinya. Sebagian besar dibimbing dan ditemani oleh orang dewasa, berbeda dengan Gita yang harus main sendiri akibat Mama yang masih sakit dan Papa yang harus mengerjakan beberapa pekerjaan rumah tangga untuk membantu Mama.

Awalnya, Papa tidak setuju ketika Gita berkata kalau dia ingin main di luar. Katanya, berbahaya karena tidak ada yang menemani. Namun, Gita tetap bersikeras dan berjanji hanya akan pergi sebentar, jadi Papa pun menyerah, meskipun dengan wajah yang dihiasi oleh bibir yang cemberut.

Kertas berisi gambarannya yang berhasil memenangkan lomba di antara dirinya dan Mama itu belum terlepas sama sekali dari genggamannya sejak gadis itu sampai di taman ini. Meskipun kertas itu jadi terlipat-lipat dan kusut, Gita tidak merasa peduli sama sekali. Dia merasa senang karena Papa berpikir kalau gambar buatannya bagus. Dia merasa senang karena Mama memuji gambarnya.

Gita memelankan gerak ayunannya ketika seorang anak yang lebih kecil darinya berdiri di depannya, seolah tengah mengantri untuk bergantian menaiki benda tersebut. Gita merasa ragu sejenak, namun akhirnya dia pun menghentikan ayunannya dan segera bangkit berdiri.

"Mau naik?" tanya Gita.

Anak itu mengangguk. Poninya yang luar biasa tebal bergerak naik, lalu turun, mengikuti gerakan kepalanya. "Ya."

Gita menaikkan kedua alisnya dan melangkahkan kakinya menjauh. "Oke."

Tanpa berkata apa-apa, anak berponi itu segera menaiki ayunan dan mulai mengayunkan benda tersebut dengan kecepatan penuh. Gita mempercepat langkahnya sebelum kepalanya terkena tendang.

Karena tidak tahu harus melakukan apa lagi, Gita pun berjalan mengelilingi taman sambil melipat kertas gambarnya untuk dimasukkan ke dalam saku roknya. Matanya berganti-gantian menatap jalan, kemudian kertas, lalu jalan lagi, sebelum akhirnya gadis itu menangkap sebuah sosok berbulu kecil di antara semak-semak.

Gita menautkan alis. Dengan cepat, dijejalkannya kertas gambarnya tadi ke dalam saku, lalu dia pun berjalan menghampiri benda berbulu itu. Kedua bibirnya bergerak terbuka begitu menyadari kalau benda tersebut adalah seekor anjing.

Anjing berbulu cokelat keemasan itu menatap Gita dengan matanya yang bulat. Lidahnya sedikit terjulur keluar, dan kepalanya sedikit miring ke salah satu sisi, seolah-olah sedang menilai penampilan Gita dari jauh. Kelihatannya dia masih sangat kecil, karena tubuhnya mungil dan dia kelihatan malu-malu.

Gita tidak bisa menahan diri untuk tidak bersorak gemas. Gadis itu berjongkok di depan anjing kecil tersebut, lalu tangannya terjulur untuk mengelus bulunya. Tak ada rasa rakut sedikitpun dalam dirinya. Dengan percaya diri, Gita mengelus kepala anjing tersebut.

"Ah, kamu lembut banget, kayak kue muffin yang suka Papa beliin buat aku," bisik Gita sambil tersenyum.

Anjing itu menyalak, seolah-olah berkata, "Iya, dong. Emangnya buluku kayak rambutmu yang kasar?".

Indra ke-6Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang