0.6

6.5K 985 50
                                    

-

BAB ENAM

"I always have a problem liking things I'm told I should like."

― Karl Pilkington, An Idiot Abroad: The Travel Diaries of Karl Pilkington

-

Jakarta,

delapan tahun sebelumnya


Ternyata, anak laki-laki misterius yang tadi sore tiba-tiba muncul di sebelahnya tidak berbohong. Mamanya betul-betul dirawat di kamar nomor 17, dan Gita rasanya ingin menangis ketika melihat berbagai jenis selang menancap ke beberapa bagian tubuh mamanya. Dia bukan dewa atau apalah yang bisa menahan tangis sekuat itu, jadi Gita membiarkan seluruh emosinya membanjir keluar.

Gita menangis karena dia khawatir pada mamanya. Karena para perawat dan dokter yang memperlakukan papanya seperti sampah. Karena dia merasa bahagia dapat bertemu lagi dengan mamanya. Dan karena dia berharap agar dia bisa bertemu lagi dengan anak bernama Indra itu.

Papa memeluknya, kemudian menuntunnya agar dapat menggenggam tangan Mama yang dihiasi selang infus. Gita menggigit bibirnya untuk menahan tangisnya begitu tangannya yang berkeringat digenggam erat oleh tangan mamanya yang dingin.

"Aku sayang Mama," isaknya, "Aku takut."

Mama tersenyum sambil membelai rambutnya. "Mama selalu di sini, Sayang. Maaf nggak bisa jemput kamu tadi."

"Mama kenapa?" tanya Gita dengan sedikit sesenggukan.

Mama menatap Papa sejenak, kemudian kembali menoleh pada Gita, senyumnya tidak pernah luntur dari bibirnya. "Kecapekan aja, kok."

"Serius?"

"Iya, Sayang."

Gita menghela napas antara lega dan pasrah. Dia sebetulnya tidak begitu yakin akan perkataan mamanya, tapi dia menurut saja, karena dia tidak mau mamanya makin pusing dan nanti penyakitnya semakin parah. Gita masih membutuhkan mamanya. Dan Gita juga belum sempat banyak belajar menggambar dengannya.

Ketika akhirnya Mama harus beristirahat, Papa mengajak Gita untuk membeli makan di kantin rumah sakit. Mereka berdua berjalan pelan menyusuri koridor, kemudian Gita menekan tombol lift. Tak sampai semenit kemudian, pintu lift terbuka dan dua orang perawat keluar dari dalamnya. Keduanya mengangguk sejenak ke arah papa Gita untuk menyapa, namun Gita cepat-cepat menarik papanya untuk masuk.

Seolah mengerti, Papa pun mempercepat langkah dan pintu lift pun menutup setelah mereka memasukinya.

"Kamu mau makan apa?" tanya Papa.

Gita mengerucutkan bibirnya seolah tengah berpikir keras. "Es krim."

"Makan nasi, dong."

"Nggak, ah. Nasi nggak enak," sahut Gita sambil memperhatikan angka penunjuk lantai yang terus berganti.

"Hush, nggak boleh gitu."

Kemudian, lift berhenti di lantai dasar. Gita kembali menggenggam tangan papanya dan mereka pun berjalan menuju kantin.

Tanpa sadar, Gita menoleh ke belakang, ke arah deretan kursi tunggu apotek. Harapannya pupus begitu dia tidak mendapati sosok Indra di mana pun. Dengan helaan napas pelan yang nyaris tidak terdengar, Gita pun kembali menatap ke depan dan melangkah menuju kantin bersama papanya.

Indra ke-6Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang