4.8

3.4K 420 70
                                    

BAB EMPAT PULUH DELAPAN

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

BAB EMPAT PULUH DELAPAN

"Your memory feels like home to me. So whenever my mind wanders, it always finds it's way back to you."

― Ranata Suzuki

-

Jakarta,

tujuh tahun sebelumnya


Gerakan gesit tangan Gita yang tengah sibuk menggoreskan tinta pulpen ke permukaan buku tulisnya terhenti begitu seseorang menggeser sebuah roti selai stroberi masuk ke dalam wawasan netranya. Jam istirahat sudah dimulai sejak sepuluh menit yang lalu, namun karena tidak membawa bekal dan karena merasa tidak nyaman mengajak teman sekelasnya untuk pergi ke kantin bersama, Gita terpaksa menahan rasa laparnya sampai ia lupa sendiri. Sebab itulah, matanya terbelalak antara kaget dan malu begitu perutnya berbunyi nyaring sedetik setelah matanya menatap roti yang disodorkan untuknya barusan.

Meskipun begitu, Elang, masih dengan sebelah tangan berada di dekat plastik rotinya, tidak menunjukkan respons berarti apapun. Gita tidak tahu itu pertanda baik atau buruk, namun setidaknya Elang tidak tertawa.

"Buat aku?" tanya Gita setelah menanti-nanti Elang untuk membuka suara dan menyadari kalau ia tidak akan mendapatkan hasil apa-apa.

Elang menekan kedua bibirnya rapat-rapat, membentuk sebuah garis lurus tipis yang mencerminkan kesan jengkel. "Iya."

"Beneran?" ulang Gita, sekadar memastikan, sementara kedua matanya berbinar-binar melahap pemandangan sedap di depannya. "Makasih, Elang!"

"Iya."

Gita sedikit memanyunkan bibirnya, namun ia tidak lama-lama ambil pusing. Dengan malu-malu, diraihnya roti tersebut dan ia pun segera membuka plastiknya dengan satu sobekan besar. Gadis itu memejamkan mata, membaca doa makan dalam hati, sebelum akhirnya melahap makan siangnya dalam gigitan-gigitan besar. Senyumnya merekah, membuat pipinya yang berisi nampak sedikit merona.

"Pelan-pelan aja," gumam Elang. Suaranya sedikit lebih lunak dari sebelumnya, meskipun wajahnya masih tidak menunjukkan ekspresi apa pun.

Gita mendongak untuk menatap Elang sambil mengelap pipinya yang sedikit terkena krim. Elang segera mengalihkan pandangannya dan duduk di sebelah gadis itu. Rasanya memang masih asing melihat sosok Elang duduk di sebelahnya, namun sepertinya dia tidak buruk-buruk amat.

Elang membuka buku tulisnya. Suaranya agak berisik, sehingga Gita mau tidak mau menoleh ke asal suara dengan kering sedikit dikerutkan.

"Nggak usah lihat-lihat. Makan aja."

Gita menunduk ke arah rotinya lagi. "Maaf."

Kepala Elang langsung berputar cepat ke arah Gita ketika ia mendengar suara lesu teman sebangkunya itu. Matanya membesar untuk memberikan atensi penuh pada perubahan ekspresi di wajah Gita. Setelah yakin bahwa tidak ada air menggenang di pelupuk mata Gita ataupun lekukan ke bawah pada bibirnya, Elang kembali duduk tegak ke posisi awalnya sambil mendengus.

Indra ke-6Where stories live. Discover now