0.5

6.8K 1K 134
                                    

-

BAB LIMA

"I've been embarrassing myself since about birth."

― Phil Lester

-

Jakarta,

delapan tahun sebelumnya


Gita belum pernah ke rumah sakit sebelum ini. Dan pengalaman pertamanya datang ternyata adalah untuk menjenguk mamanya.

Gita mengikuti langkah cepat papanya menyusuri lorong-lorong berdinding putih. Genggaman tangan mereka tidak terlepaskan sedaritadi. Entah karena Papa takut Gita tertinggal, atau papanya itu hanya butuh sesuatu untuk digenggam demi menguatkan dirinya.

Gita tidak mengerti banyak soal rumah sakit dan sistem perawatan di dalamnya. Namun Gita sempat mendengar ketika papanya bertanya kepada seorang resepsionis di depan, dan wanita itu berkata kalau mamanya sudah dipindakan dari UGD. Ketika Papa bertanya lagi mengenai nomor kamar tempat Mama dirawat, resepsionis itu tidak menjawab. Katanya, belum ada laporan.

Saat itu Papa hanya mengusap wajahnya sambil menggeleng-geleng. Kemudian dia menarik Gita. Dan sampai sekarang, mereka masih berjalan tak tentu arah.

Tiap kali mereka berpapasan dengan perawat atau dokter, Papa langsung menyebutkan nama Mama. Namun, tidak ada yang memberikan jawaban memuaskan. Beberapa menggeleng, sebagian lagi menatap Papa seolah-olah dia adalah orang aneh. Gita tidak suka papanya diperlakukan seperti itu. Tapi dia tidak tahu harus berbuat apa. Gita hanya mampu diam sambil menatap ke sekeliling.

Ketika akhirnya Papa menyerah dan menuntun Gita ke bangku ruang tunggu apotek, Gita merasa hatinya sakit. Kemudian, papanya itu berjongkok di depannya. "Papa beli minum sebentar sambil nanya lagi."

Gita hanya mengangguk. Lalu, Papa pun berdiri dan berlalu begitu saja. Rasanya Gita ingin menangis.

Di mana Mama? Kenapa tidak ada yang membantu papanya? Gita tidak haus, Gita hanya butuh mamanya!

"Mamamu ada di kamar nomor 17."

Gita buru-buru menoleh. Lelehan air mata di pipi cepat-cepat diusap olehnya begitu suara serak itu terdengar di dekatnya. Mata Gita mengerjap menatap seorang anak laki-laki yang kurang lebih seumuran dengannya yang entah sejak kapan berdiri di dekatnya.

Gita sesenggukan beberapa kali, sebelum akhirnya beringsut menjauh dari orang itu. Mama sering berkata padanya untuk berhati-hati pada orang asing.

"Aku nggak gigit," kata anak laki-laki itu sambil menyengir tiga jari pada Gita. "Namaku Indra. Kamu?"

"Gita."

Indra manggut-manggut. Mata cokelatnya menatap Gita lamat-lamat, membuat Gita ngeri. Namun kemudian pancaran wajahnya berubah sangat hangat, dan tubuh Gita yang awalnya tegang berubah rileks. Meskipun begitu, matanya masih waswas menatap lawan bicaranya.

"Yah," Indra menyisir rambutnya ke belakang dengan tangan agar tidak menutupi wajah, "Salam kenal, Gita."

Gita menggigit bibirnya, kemudian berdiri. Benar, dia harus memberitahu informasi tadi kepada papanya! Dengan gerakan gesit dan lincah, Gita berlari untuk menyusul papanya. Meninggalkan teman barunya yang menatap kepergiannya dengan senyum samar yang dikulum.

Jakarta,

saat ini

Indra ke-6Where stories live. Discover now