4.0

2.8K 526 45
                                    

BAB EMPAT PULUH

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

BAB EMPAT PULUH

"Nothing is ever really lost to us as long as we remember it."

― L.M. Montgomery, The Story Girl

-


Jakarta,

delapan tahun sebelumnya


"Kalian darimana?!"

Seruan khawatir Tante Aria memenuhi koridor ketika Gita dan Aiden kembali dari kantin rumah sakit. Keduanya sedikit tersentak, kaget akan ledakan amarah Tante Aria yang didominasi oleh nada khawatir itu. Aiden meminta Gita untuk duduk, sementara dirinya menenangkan mamanya, menjelaskan alasan dan tujuan kepergian mereka barusan.

Gita menghampiri bangku tempat ia duduk untuk menunggu operasi Mama tadi. Di salah satunya, duduk Papa yang tengah menggenggam kotak nasi goreng buatan Mama dengan tangan bergetar. Gita memandang Papa dengan bingung dan khawatir, dan kakinya pun melangkah cepat menghampiri papanya itu.

Bangku menimbulkan sedikit suara decitan ketika Gita meletakkan bokongnya di atas benda tersebut. Tanpa memedulikannya, Gita bergerak untuk melingkarkan kedua lengannya ke sekeliling tubuh Papa. Gita menatap wajah Papa, berusaha menatap matanya, namun yang Gita lihat hanyalah mata kosong Papa yang enggan membalas tatapannya.

Kening Gita berkerut. Bukan karena mengetahui fakta kalau Papa tidak mau menatapnya, namun lebih karena dia terkejut melihat mata Papa yang terlihat gelap dan sangat sedih. Entah mengapa, lidah Gita terasa kelu. Bibirnya juga mengering, begitupula dengan tenggorokannya, hingga untuk bertanya pun tidak mampu.

Tangan Gita bergerak untuk mulai mengusap-usap punggung Papa. Pundaknya masih bergetar, dan Gita pun segera meraih botol air mineral yang masih tersegel dari dekat kaki Papa dan membuka tutupnya. Lalu, disodorkannya botol tersebut, agar Papa meminumnya dan — semoga saja — merasa lebih tenang.

Papa menurut. Ia menerima botol pemberian Gita, meneguk isinya sedikit, sebelum akhirnya menutupnya kembali dan menggenggamnya dengan kedua tangan, hampir meremasnya. Gita buru-buru merebutnya sebelum botol itu hancur, atau mungkin pecah dan membuat Gita ataupun Papa sendiri mandi gratis.

"Gita," suara parau Papa terdengar. Kalau tidak mengenal Papa, orang dapat mengira kalau ia baru saja berteriak-teriak karena mengikuti konser band rock. Tapi, tidak — bahkan Papa tidak mengatakan apa-apa sejak tadi.

Gita mengangguk, merespons panggilan papanya. "Ya, Pa? Papa kenapa sedih?"

Papa tidak menjawab. Kepalanya semakin terkulai, dan kali ini Gita tidak dapat melihat wajahnya sedikit pun.

Indra ke-6Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang