1.6

4.6K 691 90
                                    

-

BAB ENAM BELAS

"I am good at walking away. Rejection teaches you how to reject."

― Jeanette Winterson, Weight: The Myth of Atlas and Heracles

-

Jakarta,

delapan tahun sebelumnya


Sepulang sekolah, Gita langsung mengurung diri di kamar. Papa sudah kembali ke kantor, karena hanya pulang untuk mengantarkan Gita ke rumah. Gita menghabiskan waktunya di kamar dengan menggambar dan mengerjakan tugas. Matanya terus menatap ke luar jendela, seolah-olah menunggu seseorang muncul di ujung jalan dan tersenyum menyapanya.

Sejak mengantarkan Gita ke kelas pagi tadi, Gita belum melihat Indra lagi. Sama sekali. Gita juga terlalu terfokus pada rasa marahnya pada Elang, Petra, Neo, dan teman-temannya yang lain, sampai-sampai dia lupa tadi Papa berpesan apa padanya sebelum kembali berangkat ke kantor.

Ada makanan di microwave? Atau ambil cemilan di toples? Keduanya terdengar serupa, jadi Gita membuat catatan dalam otak agar mengecek kedua tempat itu nanti, setelah selesai menggambar.

Hari ini, otak Gita betul-betul macet. Tidak ada ide apapun mengenai hal yang harus digambarnya, dan setiap inspirasi yang datang pun selalu terlihat salah. Sudah ada setumpuk kertas yang telah diremas-remas di pojok meja belajar, dan sebagian dari bola-bola kertas itu terjatuh dengan mengenaskan ke lantai.

Gita butuh Indra, karena anak laki-laki itu selalu sukses membuatnya bersemangat dan merasa percaya diri.

Akhirnya, Gita pun bangkit berdiri setelah memastikan tidak ada siapa-siapa di seberang jalan. Ditariknya tirai agar menutupi jendela, kemudian gadis itu berjalan menuju dapur untuk mencari pengganjal perut. Seulas senyum puas tercetak di bibirnya ketika menemukan sebuah piring dengan ayam bakar di atasnya begitu dia membuka pintu microwave.

Dengan cekatan, Gita memanaskan makanan tersebut. Sambil menunggu, dia pun berjalan menuju ruang tamu untuk menghirup udara sore hari. Memang tidak begitu segar, karena sudah terkontaminasi sedikit asap polusi kendaraan. Begitu Gita memperhatikan pemandangan di luar rumahnya, dia pun sadar kalau dirinya tak kunjung mendapatkan inspirasi karena merasa bosan berada di dalam rumah.

Beberapa tetangga Gita sedang melakukan lari sore. Mereka tersenyum pada Gita untuk menyapa, kemudian melanjutkan kegiatan olahraga mereka dengan penuh semangat. Tetangga yang tinggal di sebelah rumah Gita sedang asyik menyirami tamannya yang berisi banyak bunga-bunga cantik. Tetangga yang tinggal di sebelahnya lagi, tengah sibuk mencuci mobil.

Gita memfokuskan pandangannya ke arah rumah tetangganya tersebut. Bukan karena dia tertarik melihat seseorang mengguyur kendaraannya dengan air, namun karena Gita melihat seseorang yang familiar berdiri di dekat garasi tersebut.

"Indra!" panggil Gita dengan semangat. Tangannya bergerak ke atas, melambai-lambai pada Indra yang langsung menoleh ke arahnya.

Indra berlari-lari kecil menuju rumah Gita. Dilihat dari pakaianya, sepertinya dia baru selesai berolahraga. Mungkin bermain sepak bola? Gita juga tidak begitu mengerti.

"Hai, Gita," sapa Indra dengan cengiran lebar menghiasi wajahnya.

Gita membalas cengiran itu tepat ketika microwave-nya berbunyi di dalam rumah. "Sebentar, ya."

Indra ke-6Where stories live. Discover now