4.3

2.8K 477 4
                                    

BAB EMPAT PULUH TIGA

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

BAB EMPAT PULUH TIGA

"I glanced again. He was still watching me."

― John Green, The Fault in Our Stars

-

Jakarta,

tujuh tahun sebelumnya


Gita sebetulnya merasa bersalah karena sudah meledak-meledak begitu di depan Indra. Semakin Gita memikirkannya, semakin Gita merasa kalau dirinya ini buruk dan jahat sekali. Namun, tetap saja — tiap kali ia melihat Indra, bawaannya dia ingin marah terus!

Papa dan Mama selalu mengingatkan Gita untuk tidak marah tanpa alasan (dan sebaiknya tidak marah untuk alasan apapun kalau tidak perlu-perlu amat), hanya saja Gita tidak bisa menahannya. Wajah Indra mengingatkan Gita akan mamanya. Dan juga dengan anjing menyebalkan yang sering sekali datang ke rumah — Muffin. Memangnya, rumah Gita ini rumah singgah? Mengapa Indra tidak membawa Muffin pergi saja, sih?

Sore ini, lagi-lagi Muffin datang ke rumah Gita. Biasanya, dan seharusnya, Gita akan menyambut anjing lucu tersebut dengan penuh suka cita sembari membentangkan tangannya lebar-lebar untuk memeluk makhluk berbulu itu. Kemudian, Gita akan menuangkan makanan untuk Muffin di tempat makan khusus, sebelum akhirnya memperhatikannya makan dengan lahap.

Tapi, tidak. Hari ini, Gita justru membentak-bentak anjing itu dengan sekuat tenaganya sampai wajahnya memerah. Muffin kelihatan kaget dan ketakutan setengah mati. Namun, daripada itu, ekspresi wajahnya lebih didominasi oleh rasa sedih yang luar biasa, sehingga Gita sedikit merasa iba.

"Kamu kenapa pasang muka begitu?! Emang kamu ngerti aku ngomong apa?!" jerit Gita lagi, berusaha meredam rasa iba dan sayangnya pada Muffin. "Kamu cuma anjing, Muffin! Kamu nggak punya perasaan kayak aku! Kamu ngerti nggak sih, aku tuh lagi kesal sama kamu?!"

Muffin mendengking pelan. Matanya membulat, terlihat sedih sekali. Anjing itu duduk dengan ringkih, dan ekornya bahkan tidak bergerak sama sekali. Seolah-olah memang benar-benar sedang dimarahi.

"Kalau kamu nggak ada ... Mama nggak akan ke dokter hewan! Mama nggak akan pergi! Mama nggak akan kecelakaan! Mama nggak akan meninggal!"

"Gita!" Terdengar suara Papa yang berseru lantang dari dalam rumah, sebelum akhirnya langkah kakinya yang tergesa-gesa menyapa indra pendengaran Gita.

Gita mengusap air matanya yang sudah lumer ke pipi dengan punggung tangan, sementara Papa membalikkan tubuh anak semata wayangnya itu dengan lembut dan lemah. Matanya yang redup dan dihiasi kantung mata hitam menatap mata Gita dalam-dalam.

"Ini bukan salah siapa-siapa, oke? Berhenti menyalahkan siapapun, Gita."

Gita menggeleng cepat. "Ini salah Muffin!"

Indra ke-6Where stories live. Discover now