1.7

4.5K 706 91
                                    

-

BAB TUJUH BELAS

"Pursue what catches your heart, not what catches your eyes."

― Roy T. Bennett, The Light in the Heart

-

Jakarta,

delapan tahun sebelumnya


Gita dan Indra duduk bersisi-sisian, menghadap ke arah taman di pekarangan rumah Gita. Indra duduk sedikit menjorok ke belakang dengan kedua tangan menopang tubuhnya, sedangkan Gita sibuk sendiri melahap ayam bakarnya. Di sebelah Gita, tepatnya di antara mereka berdua, terdapat dua buah mug cantik berisi susu hangat buatan Indra.

Gita tidak dapat menahan senyumnya. Tenaganya yang terkuras hari ini, terasa telah kembali terisi penuh. Apalagi, ketika rasa manis dan panas dari susu yang menusuk serta memanjakan lidahnya sekaligus.

"Kamu kelihatan agak sedih. Kenapa?" tanya Indra setelah membetulkan duduknya agar lebih tegak. Anak laki-laki itu meregangkan otot-otot lengannya yang keram sejenak, kemudian meraih mug-nya. Dihirupnya aroma susu full cream buatannya sendiri tersebut, sebelum akhirnya dia mendekatkan mug tersebut pada bibirnya.

Satu sesap, dua sesap. Lalu, Indra mendesah puas dan meletakkan mug-nya kembali di lantai teras yang dingin. Hal itu membuat Gita cepat-cepat mengalihkan pandangan, merasa malu karena sudah memperhatikan temannya itu terlalu intens.

Sebagai jawaban atas pertanyaan Indra, Gita meletakkan piringnya yang tinggal berisi tulang belulang ayam sambil menggeleng. "Nggak, kok."

"Aku kenal kamu banget, Gita," ucap Indra lagi. Matanya menajam menatap Gita, seolah-olah tengah mengorek pikiran gadis itu. Gita cepat-cepat memelototi Indra sambil melindungi kepalanya dengan kedua tangan, seperti takut kalau sewaktu-waktu Indra bisa mencuri otaknya.

"Yah, tapi aku nggak lagi sedih," balas Gita teguh pendirian. Dia menjilat-jilat tangannya yang agak kotor, kemudian menangkupan telapak tangannya di permukaan mug yang hangat.

Gita menunduk, menatap mug yang berada di tangannya. Biasanya, Mama akan membuatkan Gita susu cokelat atau memeras sari jeruk segar tiap sore. Gita selalu suka sore hari. Dan sekarang, mengingat mamanya sedang dirawat dan papanya juga tengah sibuk, Gita harus puas dengan menikmati susu full cream yang tidak ada rasanya.

Ragu sejenak, Gita melirik Indra lewat ekor matanya. Anak laki-laki itu ternyata juga sedang menatapnya, dan Gita pun cepat-cepat mengalihkan pandangan ke arah lain.

"Tadi, di sekolah, teman-temanku nanya soal kamu," tutur Gita akhirnya. Jari-jari tangannya berkait satu sama lain, untuk menetralisir rasa gugup yang memenuhi hatinya.

"Oh? Tanya soal apa?"

Gita membetulkan pita biru yang mengikat rambutnya. "Mereka nggak bisa lihat kamu. Mereka kira, aku bercanda. Padahal, kamu ada di sini. Nyata."

Indra terdiam sejenak, kemudian tertawa. Suara tawanya terdengar agak dipaksakan, dan Gita dapat merasakan sedikit rasa sakit di hati anak laki-laki itu. "Gita."

"Ya?"

"Kamu tahu," jeda sejenak. Indra menatap langit dengan pandangan menerawang, sebelum akhirnya melanjutkan, "nggak selamanya yang nyata untuk kita, juga nyata untuk orang lain. Begitu pula sebaliknya. Kita cuma perlu melihat sesuatu dari ... sisi yang lain?"

Indra ke-6Où les histoires vivent. Découvrez maintenant