3.9

2.9K 531 31
                                    

BAB TIGA PULUH SEMBILAN

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

BAB TIGA PULUH SEMBILAN

"Much unhappiness has come into the world because of bewilderment and things left unsaid."

― Fyodor Dostoyevsky

-


Jakarta,

delapan tahun sebelumnya


Gita menanti. Pakaiannya tebal, namun dingin tetap terasa menusuk kulit. Gadis itu memeluk dirinya sendiri, sesekali menggerakkan kakinya untuk menghilangi kebosanan, sementara Tante Aria dan Aiden tertidur sambil duduk di sebelahnya, dengan sebuah selimut menyelimuti keduanya.

Jarum pada jam dinding di koridor rumah sakit tersebut terus bergerak, namun hal yang sama tak kunjung terjadi dengan pintu geser ruang operasi. Satu-satunya objek yang bergerak di dekat situ hanyalah Papa, yang tak henti-hentinya melangkah ke sana dan ke mari sambil menggigiti jari. Raut wajahnya dipenuhi kecemasan, ketakutan, dan kesedihan.

Melihatnya, Gita merasa ikut sedih. Tempat makan berisi nasi goreng buatan Mama yang tadi dilahapnya bersama Aiden kini berada di atas pahanya, disisakan setengah isinya untuk Papa. Gita tahu Papa belum memasukkan apapun ke dalam mulut selain ujung jari dan beberapa teguk kopi kaleng instan.

Gita beringsut mendekat ke arah Aiden. Ditariknya sedikit bagian selimut agar ikut menyelimuti dirinya. Tingkahnya itu membuat kakak sepupunya itu terbangun.

Aiden membuka matanya, kemudian mengerjap-erjapkannya beberapa kali untuk menyesuaikannya dengan intensitas cahaya di dalam ruangan tersebut. Lalu, kepalanya bergerak, tertoleh ke arah Gita yang tersenyum kecil ke arahnya.

"Nggak tidur?" tanya Aiden. Matanya merah karena kurang tidur.

Gita mengerjapkan mata sambil menggeleng. "Nggak ngantuk."

Aiden menghela napas. Ia pun menjulurkan tangannya, kemudian meletakkan jari telunjuk dan jari tengahnya pada kening Gita. Perlahan, dipijatnya bagian itu, membuat Gita memejamkan mata. "Tidur."

"Nggak mau," tukas Gita, matanya langsung terbuka lagi.

"Aku mau," balas Aiden. "Eh, atau kita beli camilan aja, yuk?"

Belum sempat Gita merespons, pintu operasi terbuka. Seorang dokter melangkah keluar dari pintu tersebut, menanyakan perihal keberadaan keluarga mama Gita. Tante Aria langsung terjaga. Ia terlonjak duduk sebelum akhirnya buru-buru berdiri dengan sempoyongan untuk menghampiri Papa dan juga dokter itu.

Wajah Aiden menegang. Anak laki-laki itu langsung menggenggam tangan Gita, sementara Gita balas menggenggamnya meskipun ia tidak mengerti apa-apa. Mereka berdua memperhatikan ketiga orang dewasa itu bercakap-cakap.

Indra ke-6Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang