1.3

4.7K 786 138
                                    

-

BAB TIGA BELAS

"We bury things so deep we no longer remember there was anything to bury. Our bodies remember. Our neurotic states remember. But we don't."

― Jeanette Winterson, Why Be Happy When You Could Be Normal?

-

Jakarta,

delapan tahun sebelumnya


Di hari kedelapan Mama dirawat di rumah sakit, Gita berangkat sekolah diantar papanya. Papa bangun agak kesiangan, sehingga sarapan seadanya mereka santap di dalam mobil yang menyelip-nyelip di antara ratusan kendaraan lain yang memenuhi jalanan ibu kota. Susu dari botol minum Gita tumpah sedikit dan membasahi jok mobil, dan telur yang dijepit di antara dua roti layaknya hamburger milik Papa terjatuh dan terinjak.

Tidak ada lagi yang lebih buruk dari hari ini.

Begitu mobil berhenti di depan gerbang sekolah, Gita meletakkan kotak makan dan minumannya ke dalam tas, menyalimi papanya, dan melompat turun dari mobil. Papa melambai-lambaikan tangannya sebelum akhirnya mobil melaju cepat meninggalkan Gita.

Gita sedang mengelap mulutnya yang belepotan susu sambil berjalan memasuki sekolah ketika tiba-tiba dia merasakan seseorang berjalan di sebelahnya. Gita pun menoleh dan langsung terkesiap ketika melihat Indra berada di sampingnya.

"Indra?"

Anak laki-laki itu tertawa sambil menaik-turunkan alisnya. "Hai, Gita."

"Kamu sekolah di sini juga?" tanya Gita bingung.

"Nggak, sih. Mau liat kamu belajar aja," sahut Indra kalem. "Kelas kamu di mana?"

Gita mengerjapkan matanya, kemudian mengajak Indra untuk mengikutinya. Mereka berdua berjalan menyusuri koridor-koridor menuju kelas Gita. Sambil berjalan, Indra bertanya ini-itu soal sekolah Gita, dan juga, seperti biasa, mengucapkan kata-kata penuh petuah layaknya seorang motivator andal.

Gita tersenyum geli ketika mereka berdua sampai di depan kelasnya. "Kelas aku di sini. Kamu mau masuk?"

Indra menjengukkan kepalanya ke dalam kelas Gita yang sudah ramai, kemudian menggeleng. "Nggak usah, deh. Kamu masuk aja. Nanti, kita ketemu lagi pas pulang sekolah!"

"Oke!" Gita mengangguk semangat, lalu melambaikan tangannya pada Indra. Indra membalas lambaian tangannya tepat ketika Elang dan Raffa datang dari arah yang berlawanan.

Elang menautkan alis. "Hei, Git."

Gita menurunkan tangannya, kemudian menoleh ke arah Elang. "Hai, Elang. Hai, Raffa."

"Hai," sahut Raffa tanpa mengalihkan pandangannya dari gadget-nya. Anak laki-laki itu hanya melirik Gita sekilas, tersenyum, lalu berjalan memasuki kelas.

Tak seperti Raffa, Elang berdiri di antara Gita dan Indra dengan alis yang masih bertaut sempurna. Dia menatap Gita lama, lalu menoleh ke arah Indra, kemudian menatap Gita lagi. Suaranya agak lirih ketika memanggil nama Gita. "Git."

"Ya?" Gita menarik tali tas ranselnya agar lebih nyaman. Senyuman yang sedaritadi terukir di bibirnya langsung luntur begitu Elang bertanya,

"Kamu ngomong sama siapa?"

Jakarta,

saat ini

Indra ke-6Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt