1.9

4.2K 663 71
                                    

-

BAB SEMBILAN BELAS

"The town was paper, but the memories were not."

― John Green, Paper Towns

-

Jakarta,

delapan tahun sebelumnya


Gita memfokuskan pandangannya pada kertas yang berada di hadapannya. Lidahnya sedikit terjulur keluar, terselip di antara kedua bibirnya. Tangannya bergerak dengan gesit, membentuk sketsa wajah Papa di atas kertas dengan pensil 2B-nya. Sesekali, matanya melirik ke arah Mama yang juga sedang menggambar di hadapannya.

"Ayo, nggak boleh nyontek," tegur Papa sambil menyengir, membuat Gita sebal dan menghapus bibir Papa pada sketsa untuk menggantinya dengan mulut yang menyeringai agak terlalu lebar.

"Nggak nyontek," sahut Gita membela diri.

Mama tertawa kecil. Diraihnya penghapus di antara pensil-pensil warna yang berceceran, kemudian Mama mulai menghapus guratan-guratan yang dinilai salah. Gita panik dan segera mempercepat gerak tangannya.

Seharusnya Gita tidak menyarankan untuk menjadikan Papa sebagai model gambarnya hari ini. Selain karena menggambar orang itu agak sulit, Papa juga terus-terusan bergerak. Kadang karena pegal, atau tangannya tiba-tiba gatal, dan juga kalau tiba-tiba Papa memiliki keinginan untuk mengintip-intip gambaran Gita ataupun Mama.

Gita meniup kertasnya, agak kelewat heboh, sehingga beberapa tetes air liur menyembur dari mulutnya dan mendarat ke permukaan kertas tersebut. Gita cepat-cepat mengelapnya dengan kaus yang dikenakannya, kemudian gadis itu memasang wajah cuek sambil mengembalikan pensil 2B-nya ke tempat asalnya.

"Udah selesai?" tanya Mama.

Gita mengangguk dengan cepat. "Udah."

Papa tersenyum puas. "Oke. Papa jadi juri juga, 'kan? Sini-sini, biar Papa nilai."

Gita menyodorkan kertasnya pada Papa, diikuti oleh Mama. Tak butuh waktu lama untuk Papa menentukan pilihannya. Dengan senyum misterius, Papa meletakkan salah satu kertas di atas pahanya, sementara kertas yang lain dipeluknya di dada dengan sikap defensif.

"Oke. Udah Papa tentukan."

"Siapa yang menang?" tanya Gita penasaran. Mama hanya tersenyum dikulum.

"Hmm," Papa mengintip isi kertas yang berada di pelukannya sejenak, sebelum akhirnya cengar-cengir. "Papa menilai dari dua aspek—"

Gita mengangkat tangannya untuk menyela. "Aspek itu apa?"

"Mirip kayak dua poin, gitu," jelas Papa singkat, karena terlihat kesulitan untuk mencari kalimat yang tepat untuk menjelaskan hal tersebut pada anaknya. "Oke. Jadi, yang pertama, Papa pilih yang gambarannya paling mirip sama muka Papa."

Sepertinya bukan gambaran Gita.

"Kedua, Papa pilih yang kelihatan paling rapi."

Benar-benar bukan milik Gita.

Gita terdiam, menanti sambil menggigit bibir bagian bawahnya dengan kecewa. Dia sudah banyak berlatih demi menghasilkan gambar-gambar yang sebagus buatan mamanya, dan sepertinya dia bahkan tidak punya bakat.

Papa menghirup napas dalam-dalam, kemudian membalik kertas yang berada dalam pelukannya dengan cepat. "Juara satu, Gita!"

Indra ke-6Where stories live. Discover now