1.0

5.7K 810 51
                                    

-

BAB SEPULUH

"Some people seem to fade away but then when they are truly gone, it's like they didn't fade away at all."

― Bob Dylan, Chronicles, Vol. 1

-

Jakarta,

delapan tahun sebelumnya


Di hari ketiga, Indra mengajak Gita untuk membeli gulali di ruko-ruko yang terdapat di seberang rumah sakit. Kebetulan jalan raya sedang sepi, sehingga keduanya bisa menyeberang tanpa gangguan. Sementara Indra memesan, Gita duduk di salah satu bangku taman yang diletakkan di dekat situ.

Gita memperhatikan Indra yang sedang berbincang-bincang dengan si Bapak-bapak Penjual Gulali sembari pria yang sudah agak tua itu mengambil dua buah gulali dari gerobaknya. Gita tidak tahu mereka membicarakan apa, tapi lama-lama Gita bertanya-tanya juga dalam hati.

Sebenarnya, Indra itu siapa? Dia sedang sakit, atau hanya menemani keluarganya yang sakit? Orangtuanya ke mana? Dan kenapa Indra selalu tahu kapan Gita sudah terbebas dari tugasnya mengawasi Mama?

Namun, segala pemikiran Gita yang berlebihan itu terlupakan ketika Indra menghampirinya dengan sebuah gulali di masing-masing tangan. Indra menyodorkan salah satunya pada Gita, kemudian ikut duduk di sebelahnya.

"Mikirin apa?" tanya Indra sambil mulai membuka plastik gulalinya. Dia membantu Gita untuk melepaskan plastik gadis itu dengan sabar, lalu mulai melahap makanan berwarna merah muda yang terasa seperti kapas tersebut.

Gita membiarkan gulalinya meleleh dalam mulut, kemudian menggeleng pelan. "Nggak apa-apa."

Indra mendengus. Gita pikir Indra akan memberikan petuah-petuah seperti biasa, nyatanya tidak. Anak laki-laki itu hanya menatap lurus ke arah jalan raya tanpa berkomentar, membiarkan gulalinya dihinggapi seekor lalat. Gita mengusir serangga itu dengan jijik, membuat Indra menoleh ke arahnya dan tertawa.

"Ndra," panggil Gita pelan setelah tawa Indra mereda. Yang dipanggil hanya menaikkan sebelah alisnya sambil kembali mencomot makanannya, sehingga Gita pun melanjutkan, "Kamu sakit?"

"Apa?" Alis Indra kini terangkat keduanya.

Gita berdeham. "Maksudku, kamu kan selalu ada di rumah sakit. Kamu sakit? Atau apa?"

"Oh," angguk Indra paham sambil mengalihkan pandangannya kembali ke depan. Wajahnya agak bersinar ketika mengatakan, "Ada mamanya temanku yang sakit. Dia kesepian, jadi aku temenin dia."

Di hari keempat, Kakek dan Nenek datang, membawa buah-buahan dan sup ikan kesukaan Papa. Hari itu, Gita terus mendekam di kamar, mengobrol dan tertawa bersama keluarganya. Wajah pucat mamanya sudah terlihat lebih berwarna dan ceria dibandingkan sebelumnya, namun Mama tetap belum diperbolehkan makan masakan Nenek dan harus terus memakan menu yang diberikan rumah sakit.

Gita meminta agar Kakek menyisakan sedikit sup untuk Indra. Kakek senang-senang saja, sementara papa Gita menatap anaknya itu dengan bingung.

"Indra siapa?" tanya Papa.

"Aku kan udah sering izin ke Papa kalau mau main bareng Indra," Gita mengingatkan.

Papanya hanya manggut-manggut, meskipun matanya berkilat-kilat aneh. Setelah itu, Mama menemukan topik perbincangan baru dan omongan mengenai Indra sejenak dilupakan.

Indra ke-6Onde as histórias ganham vida. Descobre agora