4.2

3.2K 515 38
                                    

soon will be edited for headers and some italic/such

-

Jakarta,

delapan tahun sebelumnya


"Indra!"

Seruan Gita, bersamaan langkah kaki terburu-buru gadis itu, menggema dan meramaikan koridor rumah sakit yang ramai. Tak dihiraukannya berpasang-pasang mata yang menatapnya dengan aneh, dan Gita pun terus berlari untuk menghampiri Indra yang sedang duduk di salah satu pojok tergelap dan tersepi tempat itu. Atau lebih tepatnya, di sebelah mesin penjual minuman ringan yang sedang tidak diminati pembeli.

Beberapa helai rambut Gita menempel di leher akibat keringat. Otot kakinya pun sudah terasa kebas, begitu pula tenggorokannya yang perih, akibat berlari dan berteriak terus-menerus. Pipinya terasa lengket akibat air matanya tadi, dan hatinya kembali terasa ngilu ketika mengingat mamanya.

Perlahan, larinya berubah menjadi jalan cepat, dan jalan cepat berubah menjadi lambat. Hingga akhirnya, Gita berhenti, tepat di hadapan Indra yang sedang menikmati minuman ringan sambil menatapnya dengan raut wajah dipenuhi tanda tanya.

"Indra," panggil Gita. Suaranya bergetar dan serak.

Ekspresi Indra langsung berubah drastis. Kini, anak laki-laki itu memandang Gita dengan khawatir dan juga bingung. Ia meletakkan botol minumannya di sembarang tempat untuk memegang kedua pundak Gita. Dipandanginya mata gadis itu dalam-dalam, sebelum bertanya, "Kenapa, Gita?"

Seakan tak kunjung habis, air mata Gita kembali mengalir turun bagaikan gletser. Ia terisak-isak dan sesenggukan. Otaknya tidak dapat menyalurkan impuls-impuls pada mulutnya untuk menjelaskan kondisinya saat ini pada Indra. Gita harap Indra dapat mengerti.

Dan, sepertinya, kenyataannya memang begitu. Tanpa bertanya lebih jauh, Indra menarik lembut tubuh Gita. Direngkuhnya tubuh mungil Gita dengan kedua tangannya, seolah-olah ia tengah melindungi Gita dari seluruh bahaya di dunia ini.

Tangis Gita semakin menjadi. Tangannya bergerak untuk balas memeluk Indra, sementara jemari-jemarinya mencengkeram kemeja biru anak laki-laki itu sampai kusut. Dibasahinya baju tersebut dengan air matanya, dan kalau Indra keberatan, ia jelas-jelas tidak menunjukkan perasaannya itu.

Napas Gita mulai stabil setelah ia puas menangis di pundak Indra. Ia menarik tubuhnya menjauh, namun Indra tetap menggenggam kedua tangannya, enggan melepaskan. Gita juga tidak menariknya, dan mereka berdua pun berpandang-pandangan selama beberapa saat sebelum akhirnya Indra memutuskan untuk bertanya lagi.

"Kamu kenapa?"

Gita menggunakan baju di bagian pundaknya untuk mengeringkan lelehan air matanya di kedua pipi. "Mamaku, Ndra."

"Mama kamu kenapa?" tanya Indra. "Sakit lagi? Eh, kamu minum dulu, ya?"

Mata Gita terasa buram kembali. Ia menggeleng ketika Indra akan menarik tangannya untuk mengambil botol minumannya yang terlupakan. "Aku yang sakit, Ndra."

"Apa yang sakit? Kamu udah cek di dokter?"

"Nggak bisa sembuh, Indra."

Indra menatap Gita dalam-dalam. "Kamu kenapa? Mama kamu kenapa? Aku nggak ngerti kalau kamu nggak ngomong."

Setetes air mata kembali bergulir di pipi Gita. Ia menjawab dengan parau, nyaris berbisik. Indra tidak akan dapat mendengarnya kalau fokus anak laki-laki itu terpecah sedikit saja. "Mamaku meninggal."

Indra ke-6Where stories live. Discover now