2.5

3.7K 613 55
                                    

BAB DUA PULUH LIMA

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

BAB DUA PULUH LIMA

"It's OKAY to be scared. Being scared means you're about to do something really, really brave."

― Mandy Hale, The Single Woman: Life, Love, and a Dash of Sass

-

Jakarta,

delapan tahun sebelumnya


Hal pertama yang terbersit dalam benak Gita begitu Papa memarkirkan mobilnya dengan rapi di garasi sepulangnya Gita dari sekolah adalah: dia harus menemui Indra dan menceritakan segala hal yang terjadi pada Indra selama gadis itu berada di sekolah. Kalimat-kalimat yang sudah sangat rapi terbentuk akibat telah dipikirkan lamat-lamat, telah berada di ujung lidah. Dengan semangat menggebu-gebu, Gita melompat turun dari mobil.

Sebelum Gita sempat pergi ke manapun, Papa buru-buru menahannya dengan cara menggandeng tangan mungil anak semata wayangnya itu. Dengan pandangan hangat yang tenang, Papa menuntun Gita agar berjalan masuk ke dalam rumah.

"Mandi sama makan dulu, baru abis itu kamu bisa main," ujar Papa. "Lagipula, emang kamu nggak ada tugas? PR?"

Gita mengerucutkan bibirnya. Merajuk, dia melangkah memasuki rumah sambil menghentak-hentakkan kakinya. Ditariknya tangannya dari genggaman Papa, dan dia pun segera melepas sepatu untuk meletakkannya di rak.

Papa memperhatikan Gita sambil terkekeh. Sementara Gita berbelok menuju ruang keluarga, Papa berjalan menghampiri dapur.

Gita menghempaskan tubuhnya ke atas sofa. Matanya terpejam sejenak, menikmati suasana rumah yang sejuk. "Mau ke Indraaa."

"Mandi dulu, Sayang. Nih, Mama juga udah bikinin kamu jeruk peras dingin. Segaaar," sahut Papa sambil mempelajari isi kulkas. "Oh. Kamu mau Papa bikinin apa? Nasi goreng? Telur dadar? Atau ... wah, ada semur jengkol. Mau?"

Gita menoleh ke arah Papa yang juga tengah mengintip ke arahnya. Posisi Papa masih menunduk, dengan wajah menghadap ke dalam kulkas, sementara tangannya memegang pintu kulkas tersebut. Gita menggelengkan kepalanya dengan cepat, kemudian memasang ekspresi seolah-olah ia akan muntah.

"Ew, nggak," dengus Gita sebagai jawaban. Setelah meregangkan tubuh selama lima detik, gadis itu pun bangkit berdiri, melepaskan tas ranselnya dari punggung, dan berlari-lari kecil menghampiri papanya.

Papa tertawa, lalu meraih botol tempat minum berbahan kaca dari dalam kulkas dan menyodorkannya pada Gita. Gita menyambut botol berisi perasan jeruk dingin nan segar itu dengan penuh semangat.

Tak diingatnya lagi kalau dia baru saja merasa kesal pada papanya akibat tidak diperbolehkan bermain. Yang terpikirkan dalam otaknya hanyalah fakta bahwa dia harus segera meneguk isi botol yang digenggamnya saat ini untuk menuntaskan dahaga.

Indra ke-6Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang