Part 17.2

9K 641 42
                                    

Hay Alina dataaang

Semoga kalian suka yhaa

Bisa jadi bahan ngabuburit juga.
Bantu taburin bintang yhaa
Thankszzz

Mobil sudah berhenti di depan rumah Alina tapi Damar masih tetap diam. Pandangan matanya kedepan. Tidak sekalipun menoleh ke arah Alina.

Alina benar-benar tidak suka dengan keadaan seperti ini. Biasanya hanya dengan ocehan-ocehan tak jelas Alina, Damar akan kembali luluh dan memaafkan Alina meskipun tetap dengan gaya marah-marah. Rasanya dimarahi Damar jauh lebih baik daripada didiami seperti ini.

Kepala Alina masih tertunduk. Sudah beberapa kali dia minta maaf ke Damar tapi tidak ada reaksi dari Damar. Kalau sekarang dia cuek dan turun dari mobil, Alina yakin masalah akan semakin runyam. Entah kenapa Alina tidak mau hubungannya memiliki masalah.

Setelah berfikir sejenak, Alina akhirnya mau membuka suara lagi. Meskipun dengan kepala yang masih tertunduk.

"Aku tuh sebenernya enggak mau ngerepotin mas Damar. Pengennya tadi aku minta jemput papa sama sopir aja. Kalau jemput malam gini kan mas Damar jadi ninggalin anak-anak."

"Aku minta maaf. Beneran deh gak bakalan ngulangin lagi."

"Sumpah aku gak akan pergi tanpa pamit lagi. Bakalan pamit kalau kemana-mana."

"Maaf yha. Jangan diem terus dong."

"Atau mas Damar mau marah-marah ke aku? Gak apa deh aku dimarahin. Diomelin seharian juga enggak apa tapi jangan diem terus dong."

Sebal karena tidak ada respon, akhirnya Alina mendongak. Melihat ekspresi Damar. Setelah melihat ekspresi wajah Damar yang masih dingin emosi Alina seketika naik. Dia sudah berkali-kali memohon maaf tapi kenapa masih tidak digubris?

"Mas? Aku lagi minta maaf lho. Kok gak ditengok?"

Damar masih diam.

"Diem? Gak mau jawab? Atau mau jewer telinga aku aja?"

"Nih, jewer deh telinga aku." Alina memajukan telinganya ke Damar.

Masih diam.

"Masih diem aja? Oke emang aku salah. Salah terus pokoknya. Sekarang aku mau turun, udah capek ngomong sendiri terus."

Alina bergerak untuk membuka pintu mobil lalu turun dengan gerakan cepat. Mulutnya manyun dan dahinya berkerut hingga alisnya bertautan.

"Besok aku sekolah. Berangkat sendiri aja. Gak usah dijemput! Pulangnya juga aku mau les. Jangan jemput!" Omel Alina sebelum menutup pintu mobil Damar dengan kasar.

BRAAAKKK!

Dengan langkah besar Alina berjalan masuk ke dalam rumah. Untung saja Alina membawa kunci cadangan, jadi dia tidak perlu menunggu seseorang untuk membukakan pintu rumah.

Baru Alina membuka pintu rumah, terdengar deru mobil meninggalkan runah Alina dengan kecepatan tinggi.

"Emang gitu tuh kalau udah tua. Kerjaannya marah terus. Semuanya salah. Lagian dia kok bisa marah kayak gitu sih. Papa aja enggak pernah diemina aku. Nah dia siapa? Pokoknya aku marah juga!" Gerutu Alina sambil melewati ruang keluarga.

"Ngapain ngomel gitu?"

Alima menoleh, ternyata mama papanya masih ada di ruang keluarga. Duduk berduaan di sofa favorit mereka. Romantis sekali. Alina sangat menginginkan hubungan pernikahan seperti kedua orang tuanya.

Mama dan papa adalah pasangan awet dari zaman mereka SMA. Kemudian memutuskan menikah saat mereka lulus kuliah. Hubungan mereka bisa dibilang mulus. Papa Alina juga sangat memanjakan mamanya. Tidak ada nada ancaman seperti Damar biasa lakukan ke Alina.

"Mama bilang ke om Damar yha kalau aku masih diluar?"

"Iya, mama bilang kamu masih keluar sama temen-temen kamu sekolah."

"Iiih, mama. Aku jadi kena marah itu orang. Marah besar pokoknya. Aku sampek gak diajak ngomong. Sebel!"

"Loh, itukan salah kamu. Kenapa enggak pamit ke Damar? Kamu tau, Damar tadi khawatir banget waktu telpon mama."

"Duduk sini deh anak papa." Papa Alina menepuk bagian kosong sofa disebelahnya, isyarat untuk Alina agar dia duduk disebelah papanya.

"Khawatir apanya sih, Ma?. Marah besar tuh sama aku. Enggak ada wajah khawatir sama sekali."

"Mama sampek terharu denger suara Damar waktu telpon mama lho."

"Kamu tau kenapa Damar marah ke kamu?" Tanya papa Alina dengan bijaksana. Tangannya mengelus kepala Alina untuk menenangkan pikiran Alina.

"Tau deh pa. Emang hobinya si om Damar kan marah-marah."

"Damar itu takut kenapa-napa sayang. Damar itu punta trauma besar dalam hidupnya."

"Trauma apa sih pa?"

"Yha papa sih cuman bisa bilang kalau Damar punya masa lalu yang cukup menyedihkan. Nanti kalau sudah waktunya pasti Damar cerita."

"Emang om Damar udah cerita ke papa?"

"Iya, udah. Dan satu lagi, jangan pernah kamu meragukan Damar. Damar sudah membunuh egonya yang besar demi bisa melamar kamu."

"Aduh pa, kalau emang udah membunuh egonya demi aku, harusnya dia enggak banyak marah dong sama aku."

"Alina.." desah mamanya.

.

.

.

Paginya Alina sudah duduk di meja makan untuk sarapan. Hari ini dia akan mengambil surat kelulusan dan dokumen-dokumen lainnya di sekolah. Rencananya sepulang sekolah dia langsung ke tempat les, kemudian lanjut ke mall yang ada toko bukunya. Alina mau beli buku baru.

"Jadi bawa mobil sendiri?" Tanya mama Alina sambil menyiapkan roti lapis untuk Alina.

"Iya mah. Kemaren om udah aku bilangin."

"Kok panggilnya pakek om lagi sih Na."

"Yha emang gitu."

"Alinaaaa" Alina menoleh. Papanya memanggil namanya dari arah teras rumah dengan setengah berteriak.

"Iya paa.. Aku lagi makaaan..."

Tidak ada jawaban dari papanya.

"Mama.. mama Alinaa..." malah suara krucil-krucil Damarlah yang menjawab.

Alina melongo. Disya, Deno dan Dendi sudah berlarian ke arahnya sambil merentangkan tangan. Mereka ingin memeluk Alina. Kalau sudah begini hati Alina jadi leleh. Lupa sudah kalau dia sedang marah ke papanya mereka.

Thanks yha udah baca

See you di next part

Babaaay

Stepmother Wannabe (Miss Nyinyir)Where stories live. Discover now