Biar Narasi Kamu Gak Kayak Robot Lagi Ngomong...

1.5K 220 35
                                    

Mayan cukup sering gua nemu ada tulisan yang kayak robot lagi cerita. Walau udah banyak juga yang narasinya mengalir lancar gitu. Nah kali ini gua akan share, satu cerita dengan dua jenis narasi berbeda. Yang satu super kaku dan yang lain (mudah-mudahan) mengalir lancar.

Narasi A :
Wati bangun tidur, dia melihat ponselnya. Dia terkejut membaca empat digit angka yang tertera di sana. Wati lalu segera meninggalkan kasurnya. Wati masuk ke dalam kamar mandi sambil berteriak, "ah! Aku terlambat!"

Narasi B : 
Pagi menjelang, matahari menebarkan anugerahnya menyusup melalui tirai jendela kamar Wati. Perlahan indera penglihatannya mulai tersadar dan Wati terseret dari alam mimpi. Mengeliat perlahan, Wati menghirup udara dalam-dalam, cara itu selalu berhasil untuk membuatnya merasa lebih segar. Kemudian Wati meraih ponselnya di atas meja dan memeriksa empat digit angka yang terpisah oleh tanda titik dua di tengahnya. Susunan empat digit angka itu membuatnya terjaga lebih dari apapun juga. Secepat kilat dia meninggalkan kasurnya dan bergegas menuju kamar mandi.

"Ah! Aku terlambat!" katanya sambil berderap.

=======================

Oke, kerasa gak bedanya? Selain narasi B lebih panjang dari narasi A? 

Berikut ini adalah bedanya narasi A dan narasi B.

1. Narasi A lebih seperti skrip film dimana empati pembaca terhadap si tokoh tergantung 80% pada unsur visual. Itu sebabnya skrip film hanya perlu memberikan instruksi mengenai peristiwa yang sedang terjadi. Karena mengenai ekspresi, perasaan dan situasinya si tokoh adalah tugas aktornya. Jadi, kalau jenis narasi A ini kita terapkan di dalam novel, lalu siapa yang akan memberitahukan pembaca tentang ekspresi, perasaan dan situasi si tokoh? Kecuali kalau pembacanya punya jenis otak spesial yang mampu membayangkan adegan langsung seperti di film. Tapi saya yakin kalau sepanjang 3000 kata jenis narasinya begitu terus, pasti lama-lama jadi menjemukan. Inti dari membaca cerita adalah terutama untuk mengetahui apa yang dirasakan atau dialami si tokoh melalui empati. Narasi seperti ini tidak begitu berhasil mengundang empati dari pembaca untuk si tokoh.

2. Narasi A miskin diksi, sinonim, dan besar kemungkinan penulisnya kalau gak males ya ga pernah baca thesaurus. Narasi B lebih banyak wordsnya karena narasi B bisa mengganti beberapa kata jadi kata lainnya. Ini adalah permainan logika dari kata-kata. Maksudnya adalah pada saat kita menuliskan "pukul 07:55", kita bisa menggunakan kata lain seperti "empat digit angka yang menunjukkan waktu bahwa dia sudah terlambat". Jadi pembaca bisa langsung menyimpulkan bahwa saat itu waktu pasti sudah lebih dari jam 07:00 (dimana secara umum kalau bangun jam segitu, bisa-bisa sudah terlambat ke sekolah)

Cara untuk menyembuhkan penyakit narasi ini adalah dengan memperbesar kepekaan kita terhadap sekeliling kita sendiri. Sudah sering dikatakan bahwa penulis selalu menulis apa yang dia ketahui. Bila kamu tidak peka terhadap apa yang terjadi di sekitarmu, misalnya pada saat bangun tidur, yang kamu rasakan hanya "aku bangun tidur" doang, daripada "aku mengawali hariku yang baru dan terheran kenapa aku masih dibiarkan hidup setelah gempa semalam.", besar kemungkinan paragraf yang akan kamu tulis juga akan sedatar realitamu. Be excited with your reality, then you can write more interesting!

Semoga tulisan ini membantu teman-teman sekalian. 

Keep writing! :)

Jadi, Kamu Pingin Jadi Penulis?Where stories live. Discover now