Chapter 6

103 24 12
                                    

WARNING
Read doang ❌
Vote doang ❌
Read + vote ✅
Read + vote + comment ✅✅
Read + vote + comment + follow ✅✅✅
-------------------------------------------------------------

Dom mengosongkan isi tasnya di atas meja kerja sesampainya kembali di apartemen. Ponsel, kacamata, adaptor, serta novel yang baru dibelinya tadi. Sebelum bekerja, ia menyiapkan beberapa lembar kertas dan pena. Dan dengan menyalakan laptop, pekerjaannya dimulai.

Pertama kali yang diperiksanya adalah koneksi kamera yang direkatnya di batu penyangga display kapal tadi. Sejenak setelah ia memilih mengaktifkan koneksinya, muncul dua frame sekaligus di layarnya. Frame pertama menghadap pangkal lorong, sedangkan yang kedua mengarah pada ujungnya. Tampak olehnya, semakin siang, lorong itu semakin dipenuhi pengunjung. Beberapa pemandu juga terlihat di antara mereka. Dan dari kamera itu nanti ia bisa mengawasi kapan petugas jaga museum biasanya memeriksa lorong itu pada malam eksekusi.

Pria itu meraih kacamatanya dan menanggalkan gagang sebelah kanan, lalu menyambungnya dengan adaptor sebelum mencucuk ujung adaptor lainnya pada slot USB laptopnya. Seketika tampilan di layar laptopnya berubah menjadi gambar kubah kaca bergambar tiga malaikat.

Dengan tetikusnya Dom menarik garis dari puncak kubah ke bawah. Di layar muncul sebuah angka, 22,54 m. Ia lalu menarik garis dari tepi kubah ke bawah dan mendapat angka 21,98 m. Di kertas ia membuat sketsa kubah dan display replika kapal perang Liberty. Digambarnya juga garis lurus antara tepi kubah dengan sisi teratas kotak kaca display dan di tengah-tengahnya ia menambahkan angka.

Setelahnya Dom meninggalkan catatannya dan beralih pada mesin pencari di laptopnya. Ia harus tahu ukuran replika kapal itu, supaya ia bisa membawa tempat yang tepat untuk menyimpannya.

"Gotcha!" gumamnya saat menemukan yang dicarinya di laman situs Libertipedia. Sketsa kapal di situs itu terlihat dari berbagai posisi, lengkap dengan ukuran-ukurannya. Ia pun menulis angka-angka itu kembali di kertasnya. Dan... Beres.

Dom menyobek beberapa selotip dan menempelkan hasil kerjanya di jendela kamar. Diperhatikannya sketsa-sketsanya sesaat. Wajahnya menampakkan kepuasan. Hampir semua detail museum dan objek yang akan dicurinya sudah diketahui. Tapi untuk membuat semuanya terealisasi, ia butuh bantuan seseorang yang sudah sangat dikenalnya dan dipercaya.

Dom sudah mengenal Lee Barnes sejak lama. Lee lah yang selalu membantu membuatkan atau mencarikan peralatan yang ia butuhkan. Meskipun yang ia cari bisa ia temukan secara daring, tapi ia sangat menghindari jual beli yang melibatkan kartu kredit. Demi keamanan.

Pria itu menggulung daftar nama dalam ponselnya dan memijit tombol dial saat nama Lee muncul di layar. "Hei, Lee," cetusnya.

"Hei, My Man! Lama tak mendengar kabarmu, Sobat. Kukira kau tak membutuhkanku lagi," balas Lee di ujung sambungan. Dari semua temannya, hanya pemuda ini yang tahu profesi Dom sebenarnya. Dan selama bertahun-tahun, Lee tak pernah membocorkan rahasianya.

Dom terkekeh. "Maaf soal itu."

"So, apa lagi kali ini?"

"Aku perlu ber-bungee jumping. Tapi aku harus kembali ke atas."

"Seberapa jauh?"

"Maksimum dua puluh tiga meter."

"That I can do." Lee terdengar seperti bergumam.

Dom bisa membayangkan pemuda di seberang menjepit teleponnya di antara telinga dan pundak, sementara jarinya melompat-lompat di atas papan tik mencari barang yang dimintanya di komputer.

"Aku punya dua puluh lima meter dan remote control," ujar Lee kemudian.

"Perfect."

"Ada lagi?"

"Pemotong kaca dan penahannya."

"Done. Lalu?"

"Sebentar, akan kupotretkan gambar dari laptopku." Dom menarik ponselnya dari telinga dan mengambil gambar replika kapal yang masih terpajang di layar laptopnya dengan kamera ponsel dan langsung mengirimnya pada Lee.

"What the..." sentak Lee tak percaya beberapa saat kemudian. "Kukira kau bukan Anti West."

"Memang bukan. Aku hanya berusaha profesional," dalih Dom.

"I see. Okay, apa yang kau butuhkan untuk ini?"

"Entahlah. Sesuatu yang ringan supaya bisa kubawa dengan mudah. Dan berganjal."

"Got it. Kapan kau membutuhkannya?"

"Jumat pagi. Bisa?"

"Okay. Temui aku di tempat biasa."

Klik.

Dom mengembuskan napas dan menyandarkan punggungnya di kursi. Tak menyangka sejauh ini semua tampak mudah.

Mata kelabu itu tertarik ke sisi kirinya, menangkap novel yang baru dibelinya tadi. Ia meraih buku itu mendekat hingga beberapa senti di depan matanya. "Hayley Collins. Itukah namamu?" tanyanya pada diri sendiri.

Dom membalik buku itu, menampilkan sampul belakangnya yang dipenuhi foto Hayley. Berbeda dengan gadis yang dilihatnya selama dua hari belakangan ini, gadis di foto itu tampak lebih ceria dengan sorot mata cerdas. Tanpa sadar ia mengusap foto itu dan senyumnya tergores samar. Rasa penasarannya menggiring jarinya untuk membuka beberapa halaman di balik sampul belakang, mencari biografi singkat si penulis.

'Hayley Jade Collins, lahir di Wescott, sebuah kota kecil di West Liberty, 28 tahun lalu. Mengawali karir menulisnya saat menempuh pendidikan jurusan Ilmu Linguistik di Tomlin University. Home adalah karya tulisnya yang pertama kali diterbitkan. Sekarang ia berdomisili di Wescott dan sedang mengerjakan karya tulisnya yang kedua.'

"West Liberty?"Mata Dom membelalak. Gadis ini punya nyali. Datang sendirian ke East Liberty di mana segelintir penduduknya sangat menentang kehadiran warga West Liberty.

✔The Ghost (A Story Behind Conspiracy)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang