Chapter 16

73 21 33
                                    

WARNING
Read doang ❌
Vote doang ❌
Read + vote ✅
Read + vote + comment ✅✅
Read + vote + comment + follow ✅✅✅
-

-------------------------------------------------------------

Reporter pertama datang menjelang pukul empat dini hari hanya karena ia tak bisa tidur dan iseng mendengarkan saluran polisi. Saat reporter wanita itu turun dari van-nya beserta seorang juru kamera, dua orang polisi berseragam langsung menghadangnya di luar gerbang. Sementara beberapa polisi lainnya membuat garis kuning hingga mengitari taman kecil di sebelah museum, gedung-gedung di belakangnya, trotoar di depan dan di samping gedung.

Dan menjelang pukul enam pagi, belasan van pencari berita sudah mulai memenuhi jalan yang biasanya lengang itu, membuat laju kendaraan-kendaraan yang berlalu lalang di depan museum agak tersendat. Dan para reporter serta juru kamera dari berbagai stasiun TV dan radio berjejal di depan pintu gerbang, menyumbat satu-satunya jalan masuk dan keluar museum.

Seorang gadis mungil berpenampilan punk – tubuh penuh tato dan rambut pendek bercat hitam legam dengan semburat warna ungu – mencoba membelah kerumunan itu, memasuki jalan masuk yang dipenuhi mobil polisi ke arah pintu utama museum. Seorang polisi yang berjaga di depan pintu melambaikan tangan padanya dan ia hanya membalasnya dengan anggukan kepala.

Ia terus melangkah menyusuri lorong utama museum, lalu berbelok ke arah sayap kanan langsung mendatangi Julian yang masih meminta keterangan dari kurator museum. Detektif itu seketika menjeda pembicaraannya dengan si kurator ketika gadis itu mendekat.

"Cammy, sudah kau periksa benda itu?"

"Sudah kubilang jangan memanggilku Cammy. Nama itu terdengar terlalu tua untukku," sungut Cameron ketus tanpa berhenti mengunyah permen karetnya.

Raut di wajah dingin Julian tak berubah. Kepada si kurator ia berkata, "Tn. Whaley, kita lanjutkan nanti."

Kembali pada Cameron, ia bertanya lagi, "Bagaimana hasilnya?" seraya menjauhi tempat berdirinya bersama kurator tadi.

"Itu kamera pengintai, Julian. Fungsinya mirip dengan CCTV. Tapi yang ini, tersambung dengan bluetooth."

"Okay. Berapa jarak maksimal bluetooth?"

"Maksimum sepuluh meter. Tapi..."

Kedua mata hazel Julian membulat. "Berarti ia tak jauh dari sini?"

"Tapi..." Cameron menekan kata 'tapi'-nya, mengisyaratkan pria di hadapannya untuk diam hingga ia menyelesaikan penjelasannya. "...orang ini menggunakan teknologi yang lebih maju. Dan kabar buruknya, ia bisa mengintai dari mana saja, bahkan dari luar Trinity."

"Apa kau tahu siapa pembuatnya?"

"Sejauh yang kutahu, benda seperti ini hanya dipakai oleh mata-mata."

"Shit," Julian merutuk saat menyadari penyelidikannya terhambat. Dan nyaris bersamaan, ponsel di saku celananya berdering. Di layarnya tertera nama 'Hammond'.

"Morgan," jawabnya. "On my way," tutupnya beberapa detik kemudian. Kepada Cameron ia berkata,

"Ikut aku. Mereka menemukan jejak ban dan sepatu."

Berdampingan dengan Cameron, Julian melangkah ke luar, membuat para reporter di luar pagar menjadi gaduh memanggil-manggil namanya.

"Detektif Morgan! Detektif Morgan!"

"Apa yang terjadi di dalam?"

"Detektif Morgan, kami minta pernyataanmu."

Julian dan Cameron tak sejenak pun menghentikan langkah mereka. Meskipun harus melesak di antara kerumunan, mereka tetap tak membuka mulut. Seruan para reporter yang adu keras dan memekakkan telinga itu tak cukup membuat keduanya menoleh. Dan sangat melegakan rasanya ketika si detektif berhasil mencapai garis kuning dan membukakan jalan bagi gadis punk itu.

✔The Ghost (A Story Behind Conspiracy)Where stories live. Discover now