Chapter 20

86 21 10
                                    

WARNING
Read doang ❌
Vote doang ❌
Read + vote ✅
Read + vote + comment ✅✅
Read + vote + comment + follow ✅✅✅
-

-------------------------------------------------------------

Presiden Jeffries terduduk pucat di meja kerjanya, menatap nanar pada layar TV sejauh 3 meter di hadapannya. Siaran di TV baru saja selesai mewartakan berita pencurian di Museum Marina semalam. Sebelumnya Presiden Edwards juga sudah menghubunginya, memberi tahu tentang pencurian itu. Saat itu ia belum percaya sepenuhnya hingga pembawa berita dari Channel 10 yang ditontonnya tadi mengonfirmasi kebenarannya.

'...terduga pelaku adalah salah satu anggota kelompok Anti West...' menurut pembaca berita tadi.

Selama ini ia berpikir mereka tak akan menjadi masalah bagi negaranya. Pemberontakan itu sudah lama berlalu dan seharusnya sudah dilupakan. Bekas-bekas kejayaan Ridgeway pun sudah tak bersisa. Namun dengan hilangnya replika itu membuktikan teror baru saja dimulai.

Suara ketukan keras di pintu ruang kerjanya seketika mengenyahkan kecamuk di pikiran Presiden Jeffries.

"Masuk!" suruhnya dengan suara pelan. Begitu pelan hingga ia sendiri hampir tak mendengarnya. Mungkin si pengetuk pintu juga perlu diperintah dua kali sebelum membuka pintu itu.

Tapi ternyata Connor tak perlu mendengar perintah kedua saat muncul dari balik pintu ruang kerja presiden. Ada panik di wajahnya, namun tak sepucat majikannya.

"Pak, Anda sudah dengar..."

"Ya, aku sudah dengar, Abbott," pintas Presiden Jeffries dengan raut datar.

"Dan apa benar pelakunya Anti West?" tanya Connor lagi seraya mendekati meja kerja Presiden.

"Ya, memang mereka."

"Apa..."

"Abbott, apapun yang kau dengar, kemungkinan semua benar," potong Presiden lagi, tetap tak membalas tatapan lawan bicaranya.

Biasanya Connor akan membiarkan majikannya mengambil keputusan. Tapi kelihatannya presiden saat itu tak bisa berkata-kata. Dan Connor merasa mempunyai kesempatan untuk kembali menggunakan pengaruhnya. "Pak, menurut saya Anda tak punya pilihan lain. Sebaiknya batalkan penyatuan itu, Pak."

Alih-alih menyahut, pria berumur itu malah berdiri dari kursinya dan berdiri di depan jendela besar di belakang meja kerja, membelakangi Connor.

"Anda baik-baik saja, Pak?" Pria muda itu bersuara lagi.

Presiden mendesah sebelum menjawab, "Kau tahu, dalam situasi seperti ini, aku tak mungkin merasa baik-baik saja, Abbott," ujarnya pelan tanpa membalikkan tubuh. "Seharusnya ini semua sudah kusadari. Seharusnya aku sudah menyadari Anti West akan melakukan sesuatu. Tapi yang tak kusadari, justru replika itulah yang menjadi tumbalnya."

"Ini bukan kesalahan Anda, Pak. Tak ada yang tahu apa yang akan mereka lakukan, bahkan pada replika itu. Lalu apa Anda sudah membuat keputusan, selain harus memberikan pernyataan pada pers?"

"Ya." Presiden Jeffries akhirnya berbalik, menghadap Connor dan menatapnya lekat-lekat. "Keputusanku tidak berubah. Penyatuan akan tetap terjadi."

"Sir?" Kening Connor berkerut. "Tapi faktanya sudah jelas..."

"Fakta apa?"

"Pencurian itu... Teror sudah dimulai, Pak." Nada putus asa mulai terdengar dalam suara Connor.

Ponsel Presiden Jeffries di meja tiba-tiba berbunyi pendek tanda sebuah pesan diterima dan mengurungkan niatnya bicara. Namun dahinya seketika bekernyit saat di layarnya hanya tertulis 'Hidden Number'. Firasatnya memberi tahu, ia akan segera menerima berita buruk lainnya.

Ragu-ragu, ia membuka aplikasi pesan singkat yang ada di ponselnya. Dan ia semakin tak mengerti ketika si pengirim hanya memberinya sebuah video berdurasi 2 menit. Tapi dikliknya juga tombol play pada layar video itu.

Video itu bermula pada sebuah foto bersama beberapa pria dan wanita bersetelan rapi. Presiden mengenali foto itu yang diambil pada hari-harinya sebagai Menteri Pertahanan beberapa tahun yang lalu di salah satu ruangan di kantornya dulu. Ia ada di antara mereka, berdiri diapit oleh para staf intinya, termasuk Connor. Tapi ia masih belum mengerti tujuan si pengirim pesan dengan memberinya video itu. Hingga seorang gadis berwajah bulat dan berambut pirang dengan sorot mata cerdas yang berdiri tepat di samping Connor membesar perlahan.

Vivian Hill, Presiden masih mengingat namanya. Gadis yang baik, rajin, cerdas, dan cekatan. Sama seperti Connor, ia juga menjadi salah satu staf kesayangannya. Connor dan Vivian sering bekerja berpasangan, meskipun ia tak tahu bagaimana hubungan keduanya di luar pekerjaan. Namun sayang, saat Vivian hamil di luar nikah, ia terpaksa memecatnya karena tak ingin nama kementerian tercoreng.

Frame pada video itu lalu berganti menjadi close up surat pengunduran diri Vivian – Presiden Jeffries yang memaksanya supaya seolah-olah pengunduran diri itu adalah ide Vivian sendiri. Tapi ketika frame berganti lagi, raut Presiden ikut berubah. Video itu menunjukkan beberapa baris catatan rekening bank milik Vivian yang diawali dengan tiga huruf kode transfer di kolom pertama. Di kolom kedua tertulis tanggal dan jam saat transfer itu diterima. Di kolom berikutnya adalah nominal yang bernilai ratusan ribu dolar. Dan di kolom terakhir tertulis nama si pengirim...

Roland H. Jeffries.

✔The Ghost (A Story Behind Conspiracy)Where stories live. Discover now