Chapter 47

66 20 8
                                    

WARNING
Read doang ❌
Vote doang ❌
Read + vote ✅
Read + vote + comment ✅✅
Read + vote + comment + follow ✅✅✅
-

-------------------------------------------------------------

Hayley sudah menunggu selama lebih dari sepuluh menit saat diminta memasuki ruang duduk di sayap kiri gedung itu. Dan sejak duduk di sofa berkain biru tua dengan corak berwarna emas itu, kakinya tak bisa berhenti mengetuk lantai. Ia tak bisa berhenti memikirkan apa yang akan terjadi nanti. Apa ia akan dituduh berkomplot dengan seorang pencuri? Atau malah dibebaskan?

Untuk sebuah kantor pemerintahan, gedung itu tampak sunyi. Hayley nyaris tak mendengar suara-suara orang yang sibuk bekerja. Sumber suara yang bisa ia dengar hanyalah keriuhan pawai di luar yang masih berlangsung. Mungkin para pegawai di kantor ini ikut memeriahkan keramaian di luar.

Namun kesunyian di ruangan itu kelihatannya tak akan berlanjut lebih lama. Lamat-lamat ia mendengar suara dua orang berdebat yang mendekat dan akhirnya berhenti di depan pintu. Apa yang mereka perdebatkan tak begitu jelas terdengar. Tapi kalau mereka berhenti di depan pintu ruangan yang ia tempati, kemungkinan mereka yang akan menemuinya di situ.

Dan saat pintu terbuka, seorang pria yang berdiri di ambangnya cukup membuat Hayley terhenyak. Ia masih ingat pria itu. Pria yang bersama rekan-rekannya membawanya ke kantor polisi dua hari yang lalu. Meskipun ia tak ingat namanya.

Pria kulit hitam dan bertubuh tak cukup tinggi itu mendekati Hayley setelah menutup pintu kembali.

"Nona Collins, apa kabar? Aku Casey Walton. Kita pernah bertemu di apartemenmu saat penggeledahan beberapa hari yang lalu." Ia mengulurkan tangannya.

Hayley bangkit dan membalas jabatan tangan itu. "Ya. Aku mengingatmu. Tapi bagaimana kau bisa di sini?" tanyanya seraya memosisikan tubuhnya kembali di sofa.

"Aku agen interpol dari Tomlin City yang ditugaskan untuk menyelidiki pencurian itu," aku Casey dengan menempatkan diri di sofa tunggal di samping Hayley.

"Ah." Hayley mengangguk mengerti.

"Nona Collins, di sini hanya aku yang paham situasinya dan aku bisa membantumu."

"Benarkah?" Hayley mengangkat kedua alisnya dengan perasaan ragu.

"Presiden Jeffries sendiri yang menghubungiku dan memberitahuku tentang video itu. Dan aku tahu, video itu ada padamu. Pencurinya, Dominic Sawyer, yang menemukannya dan menyuruhmu membawanya kemari untuk mengamankannya, benar?"

Hayley mengangguk ragu. Entah bagaimana pria ini bisa mengetahuinya.

"Apa kau sudah melihatnya?"

Gadis itu menggigit bibir bawahnya sebelum menjawab, "Ya, bersama Owen... Maksudku Dominic."

"Baiklah. Dalam situasi normal, kau tak akan bisa bebas karena kau dianggap telah mengetahui rahasia negara. Tapi tindakanmu benar dengan tak membawanya ke kantor polisi. Kalau itu kau lakukan, masalahmu akan bertambah. Dan kemungkinan video itu bocor ke publik akan lebih besar.

"Sekarang, boleh kuminta videonya?" Casey mengulurkan tangannya dengan telapak menghadap ke atas, berharap Hayley menaruh sesuatu yang diinginkannya di situ.

Tapi gadis itu masih tampak ragu. Apa benar pria ini agen interpol yang diminta langsung oleh Presiden Jeffries?

"Aku mengerti kau masih ragu, Nona Collins," pria itu bicara lagi seolah bisa membaca air muka Hayley. "Sekarang begini saja, setelah kau berikan aku video itu, aku akan langsung menghubungi Presiden Jeffries dan memintanya secara khusus untuk memberi perintah penerbitan paspor untukmu supaya kau bisa pulang hari ini juga."

Sorot mata Hayley berubah mendengar berita itu. Pulang. Memang itulah yang ia inginkan sejak menginap di kantor polisi.

*

"Kau tak akan berhasil, Son. Replika itu dicuri. Ayah yakin video itu sekarang sedang bersama pencurinya, bukan pada Anti West," ujar Jeffries dengan senyum miringnya.

"Tadinya memang begitu. Tapi berita baiknya, mereka sudah menemukan pencuri itu beserta videonya. Jadi, kurang dari satu jam lagi, video itu akan tetap disiarkan," balas Liam.

Sang Presiden hanya mendengus sebagai reaksinya.

"Bagaimana, Ayah? Ayah menerima tawaranku?" Pemuda itu menaikkan sebelah alisnya, menunjukkan kemenangannya. "Ayolah, tak akan ada yang tersakiti jika penyatuan itu batal. Justru Ayah akan menyelamatkan banyak nyawa. Tak akan ada Anti West dan tak akan ada yang mengetahui identitas Connor sebenarnya."

Jeffries masih bergeming. Untuk saat ini ia merasa sedang berada di persimpangan dan untuk memilihnya harus melalui banyak pertimbangan. Mayoritas penduduk West Liberty memilihnya karena kampanyenya yang akan menyatukan dua negara. Tapi pertimbangan lainnya, ia harus memikirkan keselamatan warganya, termasuk Connor.

Connor. Tiba-tiba saja perasaan bersalahnya menyusup. Apa yang akan dilakukan pemuda itu? Menuntutnya karena pencemaran nama baik? Meskipun ia tahu ia punya kekebalan diplomatik, ia akan membiarkan bila hal itu harus terjadi.

Kringggg...

Dering ponsel nyaring miliknya yang masih tergolek di atas meja sempat membuatnya terlonjak. Tapi saat melihat sekilas nama peneleponnya, ia tak ingin buang waktu untuk menjawab. Dan apapun yang akan dikabarkan oleh si penelepon, ia mengingatkan diri untuk tak mengubah raut wajahnya di depan Liam.

"Ya, Walton?... I see... Sudah kau pastikan?... Katakan saja... Itu bisa kuatur. Tapi akan kuurus nanti setelah urusanku selesai... Ya, terima kasih." Presiden Jeffries kembali meletakkan ponselnya di meja.

Dengan bersandar, ia menatap mata putranya dalam-dalam. "Sudah berakhir, Nak," desahnya.

"Apa maksud Ayah?"

Belum sempat sang presiden menjawab, interkomnya berbunyi. Pria itu memijit salah satu tombolnya untuk menjawab. "Ya, Andrea?"

"Polisi sudah datang, Pak," sahut seorang wanita dari alat komunikasi itu.

"Baik, biarkan mereka masuk."

"Polisi?" Liam mengernyitkan keningnya.

Jeffries tersenyum miring. "Rencanamu gagal, Nak. Pencuri itu berhasil kabur dengan videonya. Dan sekarang video itu sudah ada di tangan yang aman. Tapi berita baiknya, Ayah akan pertimbangkan lagi soal penyatuan itu."

Begitu Jeffries selesai dengan ucapannya, pintu ruangannya diketuk.

"Masuk!" suruhnya tanpa mengindahkan perubahan di raut wajah anak lelakinya.

Saat pintu terbuka, barisan para pria yang didului oleh dua pria bersetelan dan kemudian diikuti oleh dua pria petugas berseragam, ikut mengisi ruang kerja presiden yang cukup luas.

"Selamat siang, Pak Presiden," sapa pria bersetelan yang berdiri paling depan. "Maaf mengganggu waktu Anda. Kami mempunyai surat penangkapan untuk William Jeffries."

Presiden Jeffries bangkit dari kursinya. 

"He's all yours, Gentlemen," ucapnya.

"William Jeffries, Anda kami tangkap atas dugaan bersekongkol dengan kelompok Anti West dan pembunuhan Hank Foley," ujar pria bersetelan tadi pada Liam.

Liam hanya berdiri dengan senyum miring dan kepala bergeleng. Namun ia tak menyangkal maupun melawan saat seorang petugas mendekatinya dengan borgol di tangan.

"Pembunuhan?" Sang Presiden bersuara dengan nada bingung. Meskipun ia tak menuntut penjelasan kenapa putranya didakwa membunuh, tapi kini matanya menyorot marah bercampur kecewa.

✔The Ghost (A Story Behind Conspiracy)Where stories live. Discover now