Chapter 7

98 23 14
                                    

WARNING
Read doang ❌
Vote doang ❌
Read + vote ✅
Read + vote + comment ✅✅
Read + vote + comment + follow ✅✅✅
-

-------------------------------------------------------------

Hari Ke-4

Empat Hari Menjelang Eksekusi

Sejak Presiden Roland Jeffries masih menjabat sebagai Menteri Pertahanan, Connor Abbott sudah dipercaya menjadi penasihatnya. Presiden Jeffries senang bergerak cepat dan Connor yang masih muda, gesit dan cerdas mampu membantu atasannya untuk mengambil keputusan secara cepat dan tepat. Kemampuannya bahkan bisa melampaui kandidat-kandidat senior yang sebelumnya disodorkan senat, meskipun kadang perbedaan usia mereka yang jauh membuat pola pikir mereka tak sejalan.

Pagi ini ia harus datang lebih awal daripada biasanya. Kotak sebesar dua kali kotak vacuum cleaner genggam yang berat itu harus segera ia serahkan pada presiden. Hari keberangkatannya ke Trinity tinggal tiga hari lagi. Dan sejak beberapa hari yang lalu Pak Presiden sudah terlihat senewen karena kotak kaca yang dipesannya belum juga selesai dibuat. Namun pagi ini ia akan membuat majikannya semringah dengan mengembalikan replika itu beserta kotak kacanya.

Langkah pria itu sedikit tergesa di lorong panjang Capitol Palace, tempatnya bekerja sejak dua bulan yang lalu. Kedua tangannya sudah hampir putus dengan beban seberat itu. Sementara peluh sudah merembes dari sela-sela rambut coklat terangnya. Ia harus segera mencapai ruang kerja Pak Presiden sebelum benda itu jatuh dan pecah berantakan. Gajinya sebagai penasihat presiden belum cukup untuk menggantinya bila itu terjadi.

Connor mempercepat langkahnya. Ruang Pak Presiden terletak di ujung lorong dan ia hanya butuh beberapa langkah lagi untuk mencapainya. Dan di depan pintu bercat krem yang tertutup rapat itu, pria itu berdiri, bersusah payah menyodorkan satu tangannya lebih ke depan, berusaha mengetuk pintu itu.

Tampaknya ia berhasil, meskipun suara ketukan yang ia buat terdengar lemah.

"Masuk!" seru Presiden Jeffries samar menyuruhnya masuk.

Connor kembali harus bersusah payah menurunkan tuas pintu di depannya hingga pintu itu terbuka. Dan ia memerlukan bantuan kakinya untuk membuat pintu itu membuka lebih lebar.

"Ah, Abbott!" Pria di balik meja kerja besar di ujung ruangan itu bangkit dari kursi putarnya. Dua jendela besar di belakangnya membuat sosoknya terlihat gelap, membuat siluet seorang pria langsing dan tinggi. Hanya rambutnya yang keperakan seperti bercahaya terkena pantulan sinar matahari dari luar. Dan semakin ia menjauhi jendela, ke arah tengah ruangan di antara satu set sofa, wajahnya tampak lebih jelas. Di ambang usia 60 tahun, ia terbilang awet muda, hanya dengan kemerut tipis di kulit wajahnya.

Melihat penasihat kepresidenan datang dengan kotak besar di tangannya, sepasang mata birunya berbinar. Senyumnya terbentuk semringah, seperti perkiraan Connor tadi.

"Kapalku kah itu?" tanyanya antusias.

"Ya, Pak." Connor tersengal. Ia buru-buru menuju meja yang terletak di antara sofa yang diletakkan berhadapan dan meletakkan kotak itu. Ia langsung menegakkan tubuhnya lagi sebelum keringat di keningnya jatuh menetes di atas kotak.

Sementara Connor tetap berdiri berjarak dari majikannya, Presiden Jeffries membuka tutup kotak. Senyumnya melebar melihat isi kotak itu. "Bantu aku mengeluarkan kapal ini, Nak," pintanya.

Connor mendekat lagi. Dengan dua tangan dipegangnya bagian luar kotak itu, sementara Presiden Jeffries menarik isinya ke luar perlahan dan kemudian menaruhnya dengan hati-hati di atas meja beralas kaca itu.

Sang Presiden lalu memosisikan diri di sofa di hadapan replika kapal berkotak kaca setebal 0,5 cm itu, mengagumi setiap detailnya yang dibuat begitu presisi. Setiap papan yang membentuk bagian lambung dan geladak tertata begitu rapat. Pertemuan desain yang anggun namun juga gagah. Ditambah kotak kaca beralas kayu sebagai dasar kapal itu yang membuatnya semakin elegan.

Orang nomor satu di West Liberty itu kemudian mengalihkan perhatiannya pada Connor yang masih berdiri. "Duduklah, Abbott. Kau kelihatan lelah. Duduklah di depanku," suruhnya.

"Thank you, Sir." Connor bergerak, mengarahkan kakinya menuju sofa di seberang sofa yang diduduki Presiden Jeffries dan menunggu hingga majikannya selesai mengagumi kapal tiruan itu. "Anda menyukainya, Pak?"

"Absolutely. Ini sempurna. Tak sia-sia aku memercayakannya padamu."

Connor tersenyum. Dan untuk sesaat kemudian, ia membiarkan pria di hadapannya kembali mengagumi replika itu dengan memutar kotak kacanya ke berbagai arah, supaya bisa melihat detailnya.

"Bagaimana persiapan Anda, Pak?"

Presiden Jeffries mengangkat matanya sejenak, menjawab tatapan Connor. Desahnya terdengar samar.

"Kau sangat mengenalku, Abbott. Aku tak akan melakukan ini kalau tak kupikirkan masak-masak." Dan pria itu belum menurunkan pandangannya saat melihat perubahan di raut Connor. Pria di pertengahan 30 itu tampak ragu.

"Ada apa, Nak? Kau masih ragu?"

"Anda yakin mau melakukan ini, Pak? Ini bukan perkara kecil. Dan saya bukannya ragu, tapi saya mengkhawatirkan keselamatan Anda," sahut Connor pelan.

Sang Presiden tersenyum miring, seperti merendahkan kekhawatiran staf kesayangannya.

"Tidak semua penduduk East Liberty adalah Anti West, Abbott."

"Ya, saya tahu. Tapi bagaimana kita membedakan penduduk East Liberty yang pro dengan Anti West? Mereka tak ada bedanya."

"Lalu untuk apa negara menggaji dinas rahasia? Mereka orang-orang terlatih, Abbott. Aku yakin mereka tak akan mengecewakanku."

Connor mengangguk. "Sebaiknya begitu, Pak."

Presiden Jeffries memicingkan matanya, melihat masih ada keraguan di raut Connor. "Atau kau punya pendapat lain?"

Connor menggaruk anak rambut ikal di pelipisnya dengan mengalihkan tatapannya, menjauhi tatapan curiga Sang Presiden. Ia berdeham kecil sebelum bicara, "Apa tidak sebaiknya Anda batalkan saja rencana ini, Pak?"

"Apa?" Presiden Jeffries meringis tak percaya.

"Pikirkan yang akan terjadi, Pak. Dengan penyatuan itu, Anti West akan lebih leluasa meneror kita, menyebarkan ketakutan di mana-mana. Dan pikirkan keselamatan rakyat. Mereka yang akan menanggung akibatnya."

"Abbott, pemberontakan itu sudah terjadi tiga puluh tahun yang lalu. Ridgeway pun sudah tewas. Mereka tak punya alasan untuk membenci bangsa West Liberty lagi. Dan aku terpilih karena kampanyeku. Mereka menyetujui penyatuan itu. Sekarang aku harus menepati janjiku."

"Tapi hanya warga West Liberty yang memilih Anda, Pak, bukan East..."

"Kenapa kau lakukan ini, Abbott?" potong Sang Presiden.

Kedua alis Connor tertarik ke atas, seiring dengan mengerutnya kening lebarnya. "Lakukan apa, Pak?"

"Kenapa kau tak ingin aku melakukan penyatuan ini?"

"Seperti kata saya tadi, Pak, saya mengkhawatirkan keselamatan Anda dan seluruh rakyat West Liberty."

"Bukan karena kau anggota Anti West?" cetus Jeffries. Sepasang mata birunya memicing lagi, semakin curiga pada salah satu anak buahnya ini.

Pria muda itu berdengkus pelan. "Apa maksud Anda, Pak? Tentu saja bukan," elaknya.

"Kalau begitu kau tak punya alasan untuk mencegahku lagi, Abbott." Presiden Jeffries bangkit dari duduknya, seolah memberi isyarat pada Connor untuk menyudahi percakapan mereka pagi itu.

Connor ikut berdiri.

"Abbott, hariku akan panjang. Aku tak ingin lelah sebelum waktunya. Dan kau sebaiknya tak buang-buang waktu untuk memaksaku melakukan sesuatu yang tak akan kulakukan."

Connor mengembuskan napas kecewa. "Very well, Sir," ujarnya dengan raut datar. Tanpa menoleh lagi pada majikannya, ia menghilang dari ruangan itu.

"Connor!"

Laki-laki itu menoleh jauh ke arah lorong. Seorang pria seumuran dengannya melangkah dengan tapak-tapak ringan ke arahnya. Senyumnya begitu lebar seperti bangun tidur tanpa beban. Dari wajah hingga gaya berjalannya mempunyai kemiripan yang sempurna dengan presiden. Dia Liam, putra Presiden Jeffries.

✔The Ghost (A Story Behind Conspiracy)Where stories live. Discover now