20

17.9K 738 6
                                    

Siang berganti malam, langit berubah menjadi hitam—tidak ada bulan atau bintang. Rintik-rintik hujan mulai membasahi tanah kota jakarta. Waktu terus berjalan hingga saat ini menunjukkan pukul 06.15PM

Aileen baru selesai menunaikan ibadah sholat magrib, cewek itu berjalan santai menuju kamar inap Arvin.

Sampai didepan kamar inap, tangan Aileen bergerak membuka gagang pintu—terlihat perempuan berambut hitam tergerai sepunggung—duduk disamping ranjang suaminya.

Aileen tidak mempedulikan keberadaan cewek itu, ia tetap berjalan masuk tanpa mengucap salam atau sepatah katapun.

“Lo siapa?” Tanya cewek—duduk disamping ranjang Arvin sambil menatap Aileen yang duduk disofa.

Aileen menatap cewek didepan yang sama-sama menatapnya. “A-aku—”

“Dia anak pembantu aku, sayang.” Bukan Aileen yang menjawab—tetapi cowok terbaring diatas ranjang rumah sakit yang menjawab.

Deg!

Tubuh Aileen menegang mendengar pernyataan Arvin. Sampai kapanpun cowok––berstatus suaminya itu tidak akan pernah menganggap kehadirannya.

Kecewa. Satu kata yang melambangkan suasana hati seorang Aileen Hiesya. Delapan jam yang lalu, Arvin mampu membuat hatinya terbang sampai langit paling atas dan sekarang cowok itu berhasil membuatnya jatuh, sejatuh-jatuhnya.

Rasanya Aileen ingin menangis. Semalan perempuan itu tidak mengistirahatkan badannya hanya untuk menjaga Arvin, mati-matian bertahan ditempat yang ia injakkan sekarang hanya untuk menunggu dan menemani Arvin. Rasa kantuk, ia lawan karena perempuan itu sadar dengan kewajibannya sebagai seorang istri. Meskipun Aileen belum bisa menjadi yang terbaik untuk suaminya—setidaknya perempuan itu ingin selalu ada disamping Arvin dalam kondisi apapun.

Tapi apa arti semua itu? Perjuangan serta pengorbanan yang tidak pernah dianggap. Bukannya Aileen tidak ikhas melakukan itu, tapi perempuan itu hanya ingin sedikit saja dihargai.

“A-Aku keluar dulu.” Aileen sedikit berlari meninggalkan ruang inap Arvin, air matanya tidak mampu dibendung lagi. Ingin menangis dan berteriak meluapkan kekesalannya.

Brisilla—perempuan yang duduk disamping ranjang Arvin melihat gerakan cewek berlesung itu meninggalkan ruangan. “Kok dia nggak sopan gitusih, sayang." Brisilla merasa ada yang mengganjal dihatinya.

Anak pembantu? Nggak mungkin anak pembantu dengan lancang masuk ruang inap majikan tanpa mengucap salam atau permisi. Nggak mungkin anak pembantu membahasakan dirinya dengan panggilan aku, bukannya seharusnya saya. Sudahlah Brisilla bingung membahas itu.

“Dia emang gitu, nggak tau tata krama.” Wajah Arvin memerah—menahan sakit ditangan setelah operasi, lebih tepatnya setelah bius-nya hilang.

Brisilla menatap wajah pacarnya bingung. “Kamu kenapa, sayang?” Tanya Brisilla sambil mengusap lembut pipi Arvin.

“Sakittt.” Mata Arvin terpejam kuat merasakan sensasi gila ditangan dan kakinya bersamaan. Nafasnya naik turun tak beraturan.

Brisilla menyandarkan punggung dikepala kursi sambil melipat tangan didepan dada. “Huft, tangan aku tuh capek. Dari tadi sore elusin tangan sama kaki kamu.” Keluh Brisilla. “Emang aku pembantu kamu apa.”

Brisilla mengerutkan bibir. “Susahin aja!” Katanya—mengambil tas slempang lalu pergi meninggalkan Arvin, sedang kesakitan.

“S-sayang, m-mau kemana?” Tanya Arvin, menahan sakit.

“Pulang.” Ketus Brisilla, hilang tidak melihatkan batang hidungnya dikamar Arvin.

Arvin menyesali pilihannya memilih Brisilla sebagai pacarnya. Andai kejadian dini hari tadi tidak terjadi, sudah dipastikan status Brisilla bukan jadi pacarnya lagi—namun berubah menjadi mantan.

ARLEEN [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang