40

22.4K 735 70
                                    

Tiga hari dirawat, Aileen tidak mengalami perubahan sama sekali. Perempuan itu masih jenak menutup mata dengan terpasang alat bantu ditubuhnya.

Tiga hari menunggu Aileen dari pagi hingga malam, hari ini Arvin mau tak mau—meninggalkan Aileen bersama mama-nya. Hari senin, Arvin wajib berangkat sekolah—menuntut ilmu.

Pukul lima pagi tadi, Arvin pulang kerumah dengan diantar pak Rahmadi—supir pribadi sang mama. Hari-hari Arvin hampa tanpa hadirnya sosok Aileen disampingnya.

Biasanya pagi-pagi sekali, Aileen membangunkan Arvin, menyiapkan sarapan untuk Arvin dan menyiapkan segala perlengkapan sekolah dari seragam, dasi, ikat pinggang, sepatu, terakhir buku mapel pelajaran hari itu juga.

Arvin menghela nafas kasar. Usai menyelesaikan kegiatan mandinya, Arvin menggenakan seragam lalu memilah buku pelajaran di hari senin. Mulai hari ini, Arvin harus mengerjakan apa-apa sendiri. Mengenai sarapan, bi Odah akan menggantikan Aileen sementara waktu.

Arvin selesai dengan penampilan-nya, langkah selanjutnya cowok bermata elang itu harus menggunakan sepatunya. Tapi tunggu! kenapa kaos kaki pramuka yang ada disini? Kemana kaos kaki osisnya?

Arvin membuang asal kaos kaki pramuka miliknya, cowok itu dengan perasaan kesal berjalan ke lemari—mencari kaos kaki osisnya. Namun sayang Arvin tak menemukan benda itu.

“Agrhhhh! Lo taruh mana kaos kaki gue, lin?” Arvin mengacak rambutnya yang sudah ia tata begitu rapi.

Melangkah keluar, Arvin berjalan menuju kamar Aileen—membuka lemari dan menemukan kaos kaki Aileen tertata rapi ditempatnya.

Tanpa meminta izin kepada pemilik, Arvin mengambil sepasang kaos kaki osis milik Aileen dan segera memakainya.

Selesai sudah, Arvin menyambar tas punggung—melangkah turun ke lantai bawah. Dan Arvin dikagetkan oleh keberadaan Lerin dan oma-nya dirumah. Kenapa harus kaget? Bukannya setiap hari mereka berkunjung kerumahnya.

“Pagi Arvin.” Lerin menyapa Arvin diiringi senyuman manisnya.

“Pagi.” Ketus Arvin.

Oma tersenyum memandang cucu laki-lakinya. “Pagi, sayang!” Sapanya.

“Pagi.” Balas Arvin sedikit mengurangi tingkat keketusannya. Mau bagaimana pun, Arvin tak bisa mencueki omanya.

Arvin mengambil segelas susu coklat, lalu meminumnya hingga tandas.

“Kamu nggak sarapan dulu, sayang?” Tanya Oma, mengolesi selai keatas roti.

“Nggak! Arvin b—”

“ASSALAMUALAIKUM, DELAN GANTENG DILUAR!” Suara mengglegar milik Delan, membuat Arvin menghentikan perkataannya.

“Arvin duluan!” Ucap Arvin lalu menatap Lerin. “Hari ini gue nebeng Delan, lo suruh antar supir oma aja!” Tuturnya pergi meninggalkan meja makan.

“Tunggu, Arvin!” Intruksi tegas sang oma, membuat Arvin menghentikan langkah kakinya. “Berani pergi, oma nggak segan-segan untuk mencelakai Aileen!”

Arvin menarik nafas dalam. Ini yang Arvin benci, ia sulit untuk membangkang perintah dari omanya. “Jangan pernah bawa-bawa Aileen disini oma, Arvin mohon!” Lirihnya memutar badan—menatap sang oma.

Wiwik mentap sinis, sang cucu. “Kenapa? Kamu udah kena pelet dia?”

“Oma...” Jujur, saat ini Arvin harus mengucapkan apa kepada oma-nya. Ia tak mau Wiwik kecewa, tapi Arvin juga tidak mau Aileen terluka lagi.

“Turuti perintah oma, atau oma akan buat Aileen tersingkir selamanya!” Arvin berusaha menahan emosi, mendengar ancaman Wiwik. Ketika hendak melangkah pergi, Wiwik kembali berucap. “Kamu pergi, oma anggap cucu oma lebih memilih perempuan tak tau diri itu.”

ARLEEN [END]Where stories live. Discover now