Chapter 8

44.4K 1.3K 8
                                    

"Maaf sepertinya anda telat membawa istri anda ke rumah sakit dan menyebabkan janinnya dalam keadaan yang sangat lemah tapi untungnya janin istri anda masih bertahan sampai saat ini. "

Brian masih sangat bersyukur karena calon anaknya masih bertahan di rahim Nara, tapi di sisi lain Brian juga sangat takut jika nanti hal seperti ini akan terulang kembali, dan menyebabkan calon anaknya pergi.

Saat ini Brian sedang duduk di sebelah brankar yang Nara tiduri, melihat orang yang di cintainya terbaring dengan wajah pucat seperti ini membuat hati Brian merasa sakit. Jika boleh Brian ingin menggantikan posisi Nara, agar dia saja yang merasakan sakit ini bukan Nara.

"Bri." Lirih Nara.

Brian kaget karena tiba-tiba saja Nara sadar, padahal dari tadi Brian selalu memperhatikan wajah Nara tapi tidak sadar jika Nara sudah bangun.

"Iya? Ada yang sakit? Atau kamu butuh sesuatu?" Tanya Brian.

"Bayi kita?" Tanya Nara khawatir, karena terakhir ia ingat saat perutnya terasa seperti di lilit lalu tidak sadarkan diri.

"Dia baik-baik saja."

"Syukurlah." Ucap Nara dengan lega tapi di situ Nara malah menangis terisak, Dia takut jika sampai bayinya kenapa-kenapa karena kelalaiannya menjaga calon anaknya.

"Uust dia baik-baik saja, tidak usah menangis nanti dia akan ikut menangis." Ucap Brian.

"Aku takut dia terluka." Lirih Nara.

"Tidak akan ada yang terluka selama masih ada saya di samping kamu." Ucap Brian.

Nara malah di buat terharu dengan ucapan yang di lontarkan oleh Brian, dan itu cukup membuat seorang Nara baper.

"Jangan bicara begitu." Ucap Nara.

"Kenapa?"

"Aneh tau, beda dengan Brian yang aku kenal waktu awal kita nikah." Ucap Nara malu-malu.

"Tidak usah baper, saya hanya mengkhawatirkan darah daging saya." Ketus Brian.

Nyuuutt

Ucapan Brian mampu membuat hati Nara mencelos, Nara menyangka sikap Brian yang perhatian itu sudah mulai menerimanya, tapi ternyata Brian hanya memperhatikan bayinya saja.

Brian sangat menyadari sikapnya yang terlalu jahat pada Nara, belum lagi ucapannya yang selalu pedas, entahlah Brian sendiri seperti tidak sadar melakukan nya.

Brian keluar dari ruangan Nara begitu saja, dan hal itu membuat Nara semakin sakit atas perlakuan Brian, bukankah seharusnya Brian juga khawatir terhadapnya? Tapi kenapa seakan-akan Brian menganggap darah dagingnya ini tidak tumbuh di rahimnya.

"Seharusnya aku sudah paham dengan wataknya," lirih Nara.

Nara sudah tidak ingin lagi memikirkan bagaimana sikap Brian kepadanya, karena yang terpenting menurut Nara sekarang adalah bayinya.

"Biarkan papa bersikap seperti itu sama mama, yang penting tidak sama kamu ya sayang." Ucap Nara kepada sang anak yang masih di dalam kandungannya.

Nara turun dari brankar nya dan pergi dari ruangan itu untuk menuju taman yang ada di samping rumah sakit, Nara merasa dirinya sudah baik-baik saja dan memang perutnya sudah tidak sakit lagi saat dirinya berjalan.

Perlahan Nara duduk di bangku taman dengan hati-hati, lalu menghirup udara dingin malam ini, orang-orang di sekitarnya masih sibuk berkeliaran dengan urusannya masing-masing, dan itu membuat Nara tidak takut karena di area taman rumah sakit ini cukup ramai.

"Mama lebih suka di rumah sakit nak, dari pada kita pulang ke rumah papa yang sangat sepi itu." Ucap Nara, ini adalah hobi baru Nara yang suka bercerita dengan anak yang masih tinggal di dalam perutnya itu, entah anaknya mendengar atau tidak yang penting Nara senang dan nyaman saat melakukannya.

Semakin lama Nara duduk di bangku taman itu udara semakin dingin, dan itu membuat Nara memeluk dirinya sendiri dan itu terlihat lucu tapi seperti anak jalanan.

"Kenapa kau begitu bodoh."

Mendengar suara yang tidak asing baginya, Nara langsung mencari sosok itu, dan Nara di kagetkan dengan adanya Brian yang sudah setia berdiri di sampingnya, dengan cengiran kikuknya Nara berdiri menghadap Brian lalu menggenggam tangan Brian.

"Maafin aku ya Bri." Ucap Nara dengan wajah melasnya.

"Wanita ceroboh seperti mu tidak pantas mendapat maaf." Ujar Brian tajam.

***

Dengan kesalnya Nara terus memakan makanan yang ada di depannya, Nara memang tidak melakukan program diet, tapi Nara sungguh tidak ingin merusak tubuh seksinya dengan makan di malam hari seperti sekarang ini.

"Makan yang benar atau saya tambahkan nasinya." Ujar Brian.

Rasanya Nara ingin menangis mendengar ucapan Brian, jangan sampai Brian menambah nasinya lagi, karena sekarang perut Nara sudah sangat penuh sekali.

"Brian udah yah, perut aku kenyang." Ucap Nara.

"Kamu belum makan dari pagi, jadi sekarang kamu habiskan semua ini, untuk bayi ku." Tekan Brian pada kalimat akhirnya.

"Tapi aku udah kenyang banget." Melas Nara.

Tiba-tiba perut Nara merasa mual, dan ingin segera memuntahkan sesuatu, dengan langkah perlahan Nara turun dari brankar, dan langsung menuju kamar mandi yang tersedia di kamar inapnya.

Brian yang melihatnya langsung mengikuti Nara ke kamar mandi, di situ Brian bisa melihat Nara yang memuntahkan semua makanan yang tadi ia makan. Brian tidak tega melihatnya, tapi harus bagaimana lagi, ini semua demi bayi yang ada di dalam kandungan Nara, agar mendapat nutrisi dari apa yang Nara makan.

"Kamu baik-baik saja?" Tanya Brian.

"Kenapa kamu ikutan Bri? Nanti kamu jijik tau liat muntahan aku, udah sana mending kamu keluar aja." Nara mencoba mengusir Brian dari kamar mandi tapi percuma saja.

Nara sangat kesal dengan Brian malam ini, sudah menghukumnya dengan di suruh makan banyak dan membuat Nara muntah tanpa henti, lihatlah sekarang Brian tidak membantu memijat tengkuk Nara sama sekali.

Setelah merasa sudah baikan, Nara kembali ke atas brankar untuk segera merebahkan tubuhnya, tanpa mempedulikan Brian yang dari tadi terus mengikutinya, hari sudah sangat malam dan Nara harus segera tidur jika tidak ingin bangun siang besok paginya.

"Apa sudah baikan?" Tanya Brian yang tidak di tanggapi oleh Nara.

Dengan segala kekesalannya Nara berusaha masuk ke dalam mimpinya, agar tidak terus-menerus mendengar suara Brian yang membuatnya mual.

"Nara?" Panggil Brian dan Nara tidak menanggapinya lagi.

Brian hanya tersenyum dibalik punggung Nara, mungkin dirinya terlalu dingin terhadap Nara dan membuat Nara marah padanya.

***

"Kapan kau akan menghancurkan Brian Tania?"

"Sabar sayang, kita harus bermain-main dengannya dulu." Ucap Tania.

"Sudah lama kau bermain-main dengannya, sekarang saatnya kita bertindak dan jangan lupa dengan istri sialan nya itu yang membuatku muak."

"Thomas, kau terlalu terburu-buru, jangan gegabah, itu akan membuat rencana kita gagal." Ujar Tania pada pria tua bernama Thomas itu.

"Baiklah sayang, hahaha."

***

Hidden Marriage (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang