Chapter 25

35.3K 1K 12
                                    

Pagi ini Brian bangun dari tidurnya dengan kepala yang sangat sakit, inilah akibatnya jika Brian meminum banyak alkohol tadi malam.

Brian beranjak dari ranjang untuk mengambil minum di dapur, seperti biasanya. Brian disambut dengan kehampaan saat keluar dari kamar, tidak ada siapapun di rumah ini, selain dirinya dan satpam yang berjaga.

Setelah mengambil minum, Brian kembali ke kamarnya. Dengan malas Brian membuka ponsel dan berharap ada kabar baik dari Nicholas, tapi Brian mengernyit heran saat ada pesan masuk dari nomor asing.

"Brian tolong aku, aku takut! Thomas dan Tania menyekap ku di rumah yang sangat besar, dan jauh dari kota."

Brian tidak mengerti apa maksud pesan tersebut, jika salah kirim pesan mungkin orang itu tidak tahu namanya. Dan apa hubungannya dengan Thomas dan Tania.

Brian berpikir keras, sampai akhirnya Brian merutuki kebodohannya. Orang yang mengirim pesan itu pasti Nara, iya! Brian sangat yakin.

Dengan kilat Brian langsung menghubungi nomor yang mengirimnya pesan, tapi sayangnya nomor itu sudah tidak bisa dihubungi. Tidak berhenti sampai disitu, Brian segera menyambar kunci mobilnya dan langsung pergi menuju rumah Marko.

Brian mengendarai mobilnya dengan tergesa-gesa, Brian tidak peduli kalau pakaian yang ia kenakan saat ini hanya celana boxer dan kaos oblong saja. Bahkan Brian belum sempat mandi dan gosok gigi, karena saat ini prioritasnya adalah keselamatan istrinya.

Saat Brian datang ke rumah Marko, hanya ada Reta istri Marko yang sedang duduk di halaman rumah.

"Apa Marko ada?" Tanya Brian.

"Mark masih tidur Bri, kenapa memangnya?"

"Ada hal penting yang harus kami bicarakan, bisa tolong bangunkan suami malas mu itu."

"Hey! Suamiku tidak pemalas, tunggu disini." Ujar Reta tidak suka suaminya di olok-olokan oleh Brian.

Reta bangkit dari duduknya dengan susah, lalu pergi untuk membangunkan Marko, Brian bisa melihat kalau perut Reta sudah besar, dan Brian salut dengan Marko yang mau bertanggung jawab dengan perbuatannya itu. Mungkin kalau anak pertamanya masih hidup, sekarang Brian sedang bermain bersama anak dan istrinya.

"Astaga! Gue kira lo dateng kesini udah rapi, tapi masih kucel gini," ujar Marko yang datang sendirian tanpa Reta.

"Ngaca dong bro," sindir Brian, pasalnya penampilan Marko sekarang tidak jauh beda dengan dirinya.

"Bangsat lo!" Seru Marko sambil terkekeh.

"Udahlah gue gak ada waktu buat ngomongin yang gak penting, sekarang lo lacak nomor ponsel ini," Brian menyodorkan nomor ponsel yang dimaksudnya pada Marko.

"Gue dapet apa kalo berhasil?"

"Anjing lo, serius sedikitlah Mark. Nara kirim pesan pake nomor ini."

"Serius lo?" Ujar Marko heboh.

Marko langsung merebut ponsel Brian, dan membawanya ke ruang kerjanya, Brian mengikuti Marko untuk bersama-sama melacak nomor ponsel itu.

Marko terus fokus pada komputernya, dan Brian terus memperhatikan Marko, berharap pelacakan ini berhasil menemukan dimana tempat Nara berada.

"Gue gak bisa Bri, nomor ponselnya mati jadi udah gak bisa di lacak," ucap Marko.

Seketika tubuh Brian melemah, Brian pikir ini akan berhasil tapi nyatanya Brian terlambat. Seharusnya Brian membuka pesan itu lebih cepat, dan mungkin jika lebih cepat Brian sekarang sudah tahu keberadaan Nara.

"Gimana gue bisa nemuin Nara Mark, udah hampir empat bulan kita belum bisa nemuin dia," ucap Brian.

"Gue yakin Nara baik-baik saja, dan gue juga yakin kalau sebentar lagi istri lo bakal ketemu," ujar Marko berusaha meyakinkan Brian.

***

"Dasar wanita tidak tahu di untung! Kau sengaja ingin menghubungi suami mu, untuk memberitahu keberadaan mu?! Jangan harap!"

Plak!

"Sudah aku ingatkan jangan pernah berhubungan dengan Brian! Kau tidak pantas dengannya!"

Plak!

Beberapa kali Tania menampar Nara dengan kencang, Nara memohon kepada Tania untuk menghentikan tamparannya. Tapi Tania malah semakin membabi buta, Nara hanya bisa menangis mendekatkan perlakuan seperti ini.

Nara tidak tahu kalau Tania akan menemukan ponsel yang ia simpan di bawah bantal, pada saat Nara sedang tidur tiba-tiba Tania masuk ke kamarnya, dan langsung memarahinya.

Tubuh Nara sekarang rasanya sudah sangat remuk, baru saja semalam Thomas memukulinya dan sekarang Tania menamparnya. Nara tidak habis pikir kalau ada manusia sekejam Tania dan Thomas di muka bumi ini, demi tuhan Nara tidak akan memaafkan mereka jika terjadi sesuatu yang buruk padanya, dan juga bayi yang ada di dalam kandungannya.

"Tolong berhenti hiks," ujar Nara.

"Aku tidak akan berhenti sebelum kau mati sialan! Kamu pikir selama ini aku tidak cemburu melihat kamu dan Brian hidup bahagia?! Jika kau tidak ada mungkin aku yang sudah bahagia dengan Brian!" Teriak Tania di depan wajah Nara.

Nara berusaha melepaskan cengkraman tangan Tania di lehernya, Nara tidak boleh lemah. Jika Tania bisa menyakitinya, Nara juga harus bisa menyakiti Tania.

Dengan tenaganya yang tersisa, Nara mendorong tubuh Tania dari hadapannya. Nara menjauh dari Tania yang bangkit kembali, Tania mendekati Nara dan berniat menampar pipinya lagi. Tapi saat Thomas masuk ke dalam kamar yang ditempati Nara, Tania langsung berpura-pura jatuh.

"Thomas dia berusaha melukai ku," ujar Tania mengadu pada Thomas.

"T-tidak, dia yang ingin melukai aku dan bayi ku!" Seru Nara.

Thomas yang mendengar ucapan Nara langsung menatap Tania tajam, sedangkan Tania menggeleng kuat.

"Aku tidak mungkin melakukan itu Thom, dia yang berusaha membunuh bayinya sendiri. Dia memfitnah aku supaya kau membenciku," ujar Tania berdusta.

Tania sengaja membuat Thomas marah, dengan menuduh Nara yang ingin membunuh bayinya sendiri, Tania tahu kalau Thomas sangat menginginkan bayi yang ada di dalam kandungan Nara. Itu karena Thomas ingin merebut semua harta yang Brian miliki, untuk itu Tania membantu Thomas untuk mendapatkan harta itu.

"Apa benar yang Tania katakan itu Nara?!" Sentak Thomas.

"T-tidak dia bohong," ujar Nara yang sudah menangis.

"Lihatlah sayang, dia menggunakan air matanya untuk mengelabuhi kamu," bisik Tania pada Thomas.

Tanpa aba-aba, Thomas langsung menarik tangan Nara dan membanting tubuh Nara ke atas ranjang. Dengan sekuat tenaga Nara berusaha melindungi perut besarnya, Nara memundurkan tubuhnya menghindari tubuh Thomas yang berdiri di depannya. Nara berusaha mengatur napasnya agar tidak tertekan, dan Nara juga tidak bisa kalau harus terus seperti ini, ini akan berakibat buruk pada bayinya.

"Sudah berapa kali saya katakan, jangan coba-coba menyakiti anak sialan yang ada di dalam perut mu itu. Jika sampai terjadi apa-apa dengannya, kau yang akan saya bunuh!" Ancam Thomas penuh penekanan.

Setelahnya Thomas dan Tania pergi meninggalkan kamar Nara, sedangkan Nara hanya bisa menangis pilu di atas ranjang, sambil memeluk perut yang menjadi tempat bernaungnya bayi yang sangat Nara sayangi.

***

Hidden Marriage (SELESAI)Where stories live. Discover now