XXXI... Diambang Batas Kesabaran

3.7K 330 8
                                    

Noura berjalan memasuki kamarnya. Setelah menghadiri acara pemusnahan para tawanan yang merupakan anak buah Ferin dan kawanannya. Acara ini dilaksanakan bila ada vampire yang melakukan pelanggaran berat.

Pemusnahan vampire dilakukan di bawah sinar matahari. Sebelum itu tawanan akan dicambuk sebanyak seribu kali.

Sebenarnya, Noura diajak Nancy untuk bergabung mengobrol di ruangan kerja Vander. Namun, Noura menolak. Ia memilih ke kamar saja.

Noura duduk di tepi ranjang. Ia merindukan kembarannya, ia menjadi penasaran, ingin mencoba melihat kenangan masa lalu milik kembarannya. Ia membuka lemari pakaian, sedang melihat baju-baju milik kembarannya yang belum pernah ia pakai. Ia melihat baju milik Noura yang sangat disukai kembarannya itu. Ia mengambil baju tersebut. Ia melihat lekat baju berwarna merah itu, sekelabat kenangan di hari terakhir Noura mengenakan baju itu muncul. Noura sedang menangis?

"Kenapa kamu mempertanyakan hal itu? Kamu sudah membaca semua isi yang ada di dalam buku itu?" Cassie tersenyum sedih. Ia melihat buku yang dipeluk oleh Noura. Air mata menggunung di pelupuk mata.

"Bunda, Lucia dalam bahaya. Kenapa Bunda gak pernah cerita sama aku." Noura mengelap air mata yang membasahi pipinya. "Dia selalu bertanya padaku dan mendesakku untuk mengaku. Aku akan melindungi Lucia, Bunda." Cassie memeluk Noura erat. Ia mengelus lembut rambut anaknya itu.

Kenangan dalam baju itu terhenti, padahal ia penasaran dengan apa kelanjutannya. Apa memang hanya sampai di situ saja, pembicaraan antara bunda dan kembarannya?

"Aku dalam bahaya?" Noura terduduk lesu di atas lantai. "Noura akan melindungiku?" Noura menahan napas. "Apakah dia yang dimaksud Noura ialah Ferin?" Noura menengadahkan kepalanya menatap langit-langit kamar, air mata mengalir membasahi pipi tembabnya. "Buku itu. Sepertinya buku yang Noura pegang memberikan jawaban dari semua pertanyaan yang kucari. Apakah aku harus mencari buku itu?" Noura hendak bangun. Namun, ia terjatuh duduk. Kakinya lemas.

"Ah, tenagaku belum pulih." Noura berusaha berdiri sekuat tenaga dan duduk di atas ranjang. Ia memejamkan mata dan menarik napas. "Aku akan cari tahu atau lebih baik tanya langsung pada Yang Mulia?" Noura merebahkan badannya. Ia akan mengistirahatkan badannya terlebih dahulu. Percuma bila ia memaksakan untuk pergi sekarang, kakinya masih terasa sangat lemas. Beberapa hari ini, tenaganya benar-benar terforsir habis.

➡➡➡

"Aku masih penasaran, apa Anda punya mata-mata di sana?" tanya Nancy menatap Darren dalam.

Darren tertawa, menggigit apel. "Sudah kubilang tidak punya."

"Terus, bagaimana caranya Anda tahu, mengembalikan mereka menjadi vampire?"

Darren merebahkan badannya dan menaruh kakinya di tangan sofa. "Karena dia itu terlalu percaya padaku."

"Maksudnya?"

"Nancy, Anda cerewet sekali."

"Makanya bicara yang jelas!" Nancy gregetan, melempar satu buah anggur ke Darren yang langsung ditangkap oleh lelaki itu.

Vander duduk di sebelah Nancy. "Darren, kau bisa sopan sedikit tidak? Ini ruang kerjaku!"

Darren melirik Vander malas.

"Cepat katakan!" Nancy mendesak.

"Iya, iya." Darren mengambil lagi apel di atas meja. "Begini, dia itu hanya membuat penciumanku melemah. Padahal dia tahu, mataku sangat tajam dapat melihat dalam jarak jauh. Dan dia tidak menutup telingaku. Ya, wajar saja, kan, kalau aku tahu sedikit tentang apa yang dia lakukan."

Nancy dan Vander menatap Darren tak percaya.

Darren mendengus kesal. "Aku berkata jujur!"

"Oke, aku percaya," kata Vander.

My Mate is a Vampire Princess (TAMAT)Where stories live. Discover now