XLI... The Winter Feel Warmer

3.7K 329 31
                                    

Pagi yang cerah, secerah wajah lelaki tampan bermata biru langit yang baru saja terbangun dari tidurnya.

Orlan tersenyum bahagia, hatinya menghangat melihat wajah istrinya yang masih terlelap di depannya. Saat Lucia datang ke Redwood Pack, mereka memang tidur bersama. Tetapi kali ini melihat Lucia ada di sampingnya dikala ia tidur, rasanya sangat berbeda dari hari-hari sebelumnya. Mungkin karena sekarang bidadari yang ada di depannya ini telah menjadi istrinya.

Orlan tidak akan pernah lupa untuk bersyukur dan berterima kasih kepada sang pencipta.

Orlan mengelus surai cokelat milik Lucia. Gerakan tangannya terhenti saat menyadari ada yang aneh dengan istrinya. Ia mengamati surai itu. "Jay, sejak kapan rambut Lucia bagian bawahnya berwarna putih?"

"Sejak hari ini," jawab Jay malas. Ia tersenyum memandangi wajah mate-nya dari mata Orlan.

Orlan memelotot. Ia memandangi wajah Lucia, tidak ada yang berubah dan warna kulitnya tetap sama. Apakah kemarin Lucia mewarnai rambut? Sepertinya tidak. Tadi malam seluruh rambut Lucia berwarna cokelat.

"Mate kita seksi. Aku ingin melihat warna matanya, apakah berubah juga?" Jay berucap ngawur. Seraya cengengesan.

Gara-gara Jay, Orlan menjadi penasaran dengan warna mata Lucia. Apakah ia harus membangunkan Lucia, tapi kasihan tidurnya sangat nyenyak.

Orlan tersenyum geli, Lucia mengusel di dadanya. Ia mencium puncak kepala dan tato bergambar bulan yang dikelilingi awan yang berada pada ceruk leher Lucia --yang merupakan hasil karyanya. Ia melihat Jay yang ada dalam dirinya, Jay dari tadi terus menatap Lucia sampai lupa untuk berkedip.

"Kau bahagia, hm?"

"Pertanyaanmu bodoh sekali." Jay mendengus. "Aku tidak pernah sebahagia ini di dalam hidupku. Aku sekarang berpikir. Bila dulu aku tidak memaksamu untuk bertemu dengan Lucia, pasti kau tidak akan mau bertemu dengannya dan akhirnya sampai sekarang kita jomlo. Lalu, Lucia menikah dengan Pangeran Vander, dan kau akan menangis di pojokkan karena menyesal tidak mau menerima takdir dan tidak berjuang dari awal."

Orlan memejamkan matanya dan menghela napas panjang. "Iya, aku sadar. Ini semua berkatmu yang gigih menyuruhku untuk bertemu dengan Lucia dan menyakinkanku bahwa semuanya akan berjalan dengan baik." Orlan tidak membayangkan, bila Lucia menikah dengan Vander. Apa yang akan terjadi padanya? Apakah ia akan mati sekarat karena mate-nya telah menikah dengan orang lain? Mungkin yang dikatakan Jay benar, ia akan menyesal seumur hidup dan menyalahkan dirinya sendiri atas kekerasan hatinya itu.

"Terima kasih, Jay. Kau memang wolf yang paling terbaik untukku."

"Terima kasih juga, karena kau selalu menyadarkanku bila ingin mengambil alih tubuhmu demi bertemu dengan Lucia. Bila kau tidak mencegahku, mungkin aku akan mengacaukan segalanya."

Orlan kembali mencium puncak kepala Lucia dan mengeratkan pelukannya. Ia sangat bersyukur dahulu mendengarkan ucapan Jay. Ia dan Jay memiliki sifat yang sama, yaitu keras kepala. Tetapi keduanya dapat saling mengingatkan satu sama lain.

Orlan memandangi Jay, ia mengerutkan keningnya. "Jay, matamu berwarna merah."

Jay yang sedang melamum mengingat kejadian tadi malam seraya senyam-senyum, kaget mendengar penuturan Orlan. "Hah? Apa maksudmu?"

"Matamu warna merah."

Seketika Jay duduk tegak, badannya terasa kaku. "Apakah aku juga ikut terpengaruh? Oh, jangan-jangan aku berubah menjadi vampire? Bagaimana ini Orlan? Aku jadi vampire? Oh, Moongoddes." Jay berjalan mondar-mandir ke sana kemari.

My Mate is a Vampire Princess (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang