Terbiasa dan Pikiran

377 39 1
                                    

02

Evelyn

"Makasi ya, Dip." Tutur gue saat mobilnya berhenti di depan pagar coklat tinggi milik rumah dengan tembok berwarna coklat pastel, rumah gue. Waktu kenapa jalan cepet banget deh. Belum apa-apa udah sampai aja padahal gue dengan Dipta udah asik ngobrol.

"Hm." cuman itu jawabannya. Saat gue turun, Dipta hanya melajukan mobilnya tanpa mengatakan kalimat pamitan apa-pun.

Ponsel gue berdering tepat saat mobil Dipta udah hilang dari jarak pandang gue. Nama Chintya tertera di sana. Kadang tanpa gue bicara pun, sahabat gue ini pasti selalu mengecek keadaan gue. Chintya tau kalau hari ini adalah hari yang penuh dengan momen berarti di hidup gue, itu sebabnya dia menelepon hanya sekedar menanyakan gimana kondisi gue setelah berduaan di mobil untuk pertama kalinya dengan cowok yang selalu jadi topik pembicaraan gue selama tiga tahun ini.

"Gimana-gimana?"

"Gue belum aja masuk rumah."

"Nggak nanya. Lo gimana tadi? Salting gak? Mules? Atau sampe cepirit?"

"Gue salting mampus buset! AAA!" gue berteriak sepuasnya selagi nggak ada tetangga satu pun di luar. Nggak banyak yang perlu gue ceritakan ke Chintya karena memang nggak banyak yang terjadi, alhasil perbincangan kita di telepon hanya berlangsung lima belas menit.

Jam enam sore sepulang sekolah biasanya gue pergi bermain bulu tangkis bersama abang gue, Bayu, atau nggak gue pasti menonton nyokap yang sibuk buat bermacam-macam jenis kue kalau udah pulang kantor. Biasanya sih tapi sekarang nggak biasa karena gue hanya menghabiskan jam sore gue ini dengan serial drama korea terbaru yang perlu gue tonton maraton sekarang. Dua jam pertama semua berjalan lancar, gue udah kayak kebo hibernasi karna diem di kamar terus tanpa caper ke dapur saat tau Mama lagi buat cookies. Ketenangan ini hilang gitu aja karena Mama gue yang cantik dan ramah ini asal buka pintu kamar dan memohon bantuan dari gue. Ah, maaf Nam Joo Hyuk aku pause dulu.

"Teman SMA Mama baru pindahan, bawain cookies ini ke rumahnya dong, dek,"

Dek. Adek. Mama memanggil gue dengan sebutan itu sebagai sogokan biar gue mau menolongnya.

"Mam, ini udah jam 8 malem. Masak anak gadis di biarin keluar jam segini," jurus manja ini keluar setelah satu minggu bersembunyi.

Mama Linda Cornelia Carla mengeluarkan jurus mendesah pasrahnya untuk anak gadis satu-satunya ini. Mama melipat kedua tangan di depan dada, menyender di tembok, "Satu perumahan, kepleset juga nyampe. Ayo lah anterin, Mama mau zoom meeting lima menit lagi," waduh, ini ibu-ibu sibuk amat, "Kalau mama yang anterin pasti bakal banyak ngobrolnya," nadanya mulai lembek tapi galak di saat bersamaan.

"Nam Joo Hyuk ku nggak boleh di tinggal, Mam,"

"Ya elah, rumahnya deket banget, tinggal bentar juga nggak nangis itu cowok korea mu,"

Tunggu. Tiba-tiba gue teringat suatu hal.

"Rumahnya yang nomor 5B bukan, Mam?"

Mama yang awalnya senderan di tembok langsung berdiri tegak, "Kok kamu tau?"

Kalau kata Yuta NCT, 'Kore wa destiny desu'.

Saat itu juga gue lompat dari kasur dan menarik mama ke dapur untuk kasi tau gue mana yang perlu di anterin ke rumah calon mertua. Mungkin Mama curiga kali ya kenapa gue tiba-tiba semangat, karena keliatan banget kalau Mama hendak bertanya tapi gue keburu kabur.

Hari ini benar-benar hari dimana serba pertama kali.

Pertama kali diajak pulang bareng sama cowok yang gue suka.

Dan, pertama kalinya gue skip Nam Joo Hyuk cuman untuk urusan lain.

Di sini gue sekarang. Berdiri di depan pintu rumah putih bergagang emas dengan piyama di balut zipper jacket sambil bawa keranjang kue mini berisi cookies titipan mama. Pencet bel aja udah berasa pencet bom kematian, deg-degan setengah mampus.

"Sebentar." Susah payah gue meneguk ludah mendengar suara Dipta yang mendekat perlahan. Pintu terbuka, menunjukkan Dipta dengan pakaian tidurnya dan rambut yang sedikit acak-acakan.

"Lo?" bingungnya dengan alis yang terangkat satu.

"Sorry ganggu. Ini Mama gue titip cookies ke Tante Veona karna baru pindahan katanya,"

Dipta yang awalnya berdiri di dalam rumah, kini maju keluar buat gue mundur selangkah.

"Nyokap lagi pergi. Tapi kok Mama lo kenal sama Mama gue?"

Gue mengangguk, "Bestie SMA,"

Dipta menatap gue kaget, gue menatapnya kaku. Ini kenapa dia natap gue lama banget?! Punggung gue pegel karna nggak bisa rileks.

"Dip, lama banget lo!" celetuk seseorang dari belakang. Iko ternyata.

"Oalah, ada calon ceweknya toh. Hai, Evelyn!" sapanya.

Kena ceng-ceng lagi. Kali ini gue di sebut 'calon cewek' dan Dipta nggak membantah dan nggak berkomentar apa pun. Sabrut (salting brutal).

"Cie, mulai nyamperin cowoknya cie," kini Kevin ikut menimpa. Entah kenapa keempat sahabatnya ikut keluar rumah sekarang.

"Loh, tumben lo keluar di atas jam 6. Biasanya udah hibernasi," ini kenapa Rama nggak bisa menutup image jelek gue ya? Kenapa dia nggak bagus-bagusin nama gue aja?

Gue hanya terkekeh sambil melempar kode 'kampret lo' ke Rama. Nggak tau kenapa ajang mereka berempat ceng-cengin gue berhenti gitu aja saat Dipta menoleh ke belakang sekilas. Bener-bener cuman noleh ke belakang sekilas mereka langsung kicep dan masuk, menyisakan gue dan Dipta di luar.

Ini kenapa mendadak canggung ya?

"Em, kalau gitu gue balik dulu. Jangan lupa kasih ke nyokap lo ya," pamit secepatnya sebelum gue menyublim di kecanggungan ini.

Dipta hanya mengangguk, "Thanks and sorry ya karna kena ledek teman-teman gue,"

Gue mah nggak apa-apa kalau ledekannya tentang lo mah.

"Santai aja,"

"Yaudah, balik aja. Nggak perlu di anter kan?" tutur Dipta singkat. Hm, nggak perlu sih. Tapi bilangnya gitu banget, ngenes. Gue hanya tersenyum singkat dan segera pergi dari rumah Dipta. Entah kenapa gue merasa takut seketika, takut dengan 'signal' yang Dipta tunjukkan. 

Takutnya gue yang terlalu baper. 

Takutnya Dipta menunjukkan sikap-sikap yang buat gue bingung sendiri.

Suka sama Dipta dalam diam selama bertahun-tahun buat gue mulai terbiasa melihat wajah dingin, ketus dan sangarnya. Tapi gue belum terbiasa dengar nada bicaranya yang ketus tiba-tiba setelah kehangatan yang dia berikan sebelumnya. 

Evelyn's overthinking era. 

PathwayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang