Pacaran dan Perubahan

285 34 2
                                    

03. 

28 Juni 2020

Evelyn

Hari Senin bukan hari yang di harapkan banyak murid di luar sana, apalagi murid SMA Tunas Bangsa. Memang sih nggak ada upacara setiap Senin kecuali di hari itu ada memperingati suatu hal, tapi tetap aja hari Senin nggak pernah menjadi salah satu harapan gue di dunia ini. Kalau Senin kemarin gue di buat stres karena perkenalan mapel akuntansi perusahaan dagang, Senin sekarang otak gue di buat mau copot karena ulangan mapel di bab yang sama. Entah, ini perusahaan dagang siapa yang jadi contoh di soal ulangan gue, ngerepotin banget.

"Jurnal penyesuaian gue udah nggak balance tetap trobos sampe neraca jalur," suara Rama mulai terdengar di saat kami bertiga—gue, Chintya dan Rama, sedang meratapi nasib nilai akuntan yang akan kami terima nanti.

"Gue balance semua tapi dapetnya rugi bukan laba. Terus kata Pak Vino jawaban yang bener laba. Udah lah, remed gue!"

Gue nggak paham kenapa dua sahabat gue ini yang lagi sangat amat stres tapi masih bisa-bisanya ngoceh. Sedangkan gue? Jangankan ngoceh, buka mata aja malas sekarang. Iya, gue lagi senderin kepala di tembok sambil memejamkan mata diiringi dengan hembusan nafas pasrah. 

Se-pasrah apa pun gue tentang hidup dengan riwayat penyakit anemia akut yang gue punya ini, kalah pasrah sama nilai mapel akuntansi. Analogi gue kok dark banget ya.

"Wah, sohib gue nyamperin. Tau aja gue lagi stres!" cerocos Rama yang entah udah berapa kali. Gua tau kalau ini bukan ngomong sama gue atau pun Chintya, paling juga ngomong ke sahabatnya yang samperin ke kelas.

"Stres kenapa lo?" bentar, suaranya? 

Dengan cepat gue membuka mata dan ya benar dugaan gue, Dipta datang ke kelas. Gue nggak mengeluarkan suara sedikit pun, bukannya gengsi untuk menyapa cowok yang udah di cap sebagai gebetan gue sama orang-orang selama semingguan ini. Gue hanya lagi malas, ulangan tadi benar-benar menguras banyak tenaga.

"Ulangan akuntansi. Kelas lo enak dapet bocoran dari kelas gue nanti,"

Gue melihat Dipta hanya mengangguk, "Congrats deh. Sayangnya gue kesini bukan buat nyamperin lo," ucapannya terputus karena kini Dipta mengarahkan fokusnya ke arah gue, "Gue samperin Evelyn."

Lagi-lagi suasana kelas riuh. Gue berani jamin kalau dari awal Dipta masuk ke kelas pasti udah banyak orang yang kepoin. Liat aja sekarang, cewek-cewek beda kelas bahkan beda jurusan aja ngintip dari luar.

"Udah makan?" tanyanya. Gue hanya menggeleng singkat sambil membalas tatapannya.

"Yaudah, sini ke kantin," ajaknya sambil mengulurkan tangan. Waktu itu tiba-tiba ngajak pulang bareng, sekarang ke kantin bareng pakai megang tangan gue lagi.

Dipta benar-benar menggenggam tangan gue erat, dia nggak kasih celah tangan gue untuk lepas. Dari depan kelas gue sampai di kantin itu banyak banget murid berkerumun. Ada yang fotoin gue, ada yang vidio, atau bahkan cuman sekedar berseru untuk gue dan Dipta. Suasana yang menjadikan gue layaknya artis sedang red carpet ini bukan hal yang baru, ini hal yang udah biasa buat gue. Tapi yang buat gue gugup sekarang adalah Dipta. Biasanya gue jalan sendiri tapi sekarang Dipta berjalan di samping gue dengan tangannya yang menggenggam tangan gue erat.

"Biar gue pesenin. Lo mau apa?" ujarnya sambil mempersilahkan gue untuk duduk dengan kegugupan ini.

Satu batagor dan es teh yang Dipta letakkan di hadapan gue sekarang ini mampu membuat perut gue yang dari tadi nyeri mulai mereda. Gue pikir akuntansi cuman buat pusing berlebih ke muridnya yang sedikit kurang pintar, ternyata impact nya di gue nggak cuman itu aja. Perut gue nyeri abis sekarang, mungkin penyakit gue kambuh kali ya.

PathwayWhere stories live. Discover now