Berguna dan Percaya

191 22 0
                                    

06

Evelyn

28 Juli 2020

Satu minggu berturut-turut habisin tiga jam setelah pulang sekolah di lapangan basket indoor SMA Tunas Bangsa yang bau cat bangkunya semerbak. Satu minggu berturut-turut juga waktu untuk melihat Nam Joo Hyuk tersayang gue berkurang tiga jam. Dan, paling penting, selama satu minggu belakangan ini hubungan gue dan Dipta sangat amat biasa-biasa aja. Selama seminggu gue cuman sekali pernah liat dia di sekolah.

Status pacaran kami berdua masih terasa asing buat gue. Entahlah, mungkin karena hubungan yang gue jalani sekarang sangat amat beda dari hubungan yang pernah gue alami sebelumnya.

"Okei, latihan yang bagus kali ini. Bapak akhiri sampai sini dulu latihannya dan hati-hati di jalan ya kalian semua!" tepat saat Pak Suparto menutup latihan basket ini gue langsung menghubungi Bang Bayu—kakak terganteng gue ini, untuk menjemput seperti biasa.

"Ivy, maaf banget abang lupa bilang kalau abang lagi reuni SMA jadi nggak bisa jemput. Pesen taxi online aja ya, nanti uangnya abang ganti deh. Maaf ya,"

Gue menghela nafas panjang. Langit udah mulai menggelap dan bisa-bisanya Bang Bayu baru kasi tau soal ini. Kalau aja di kasih tau dari tadi mungkin gue nggak perlu susah payah untuk nolak ajakan Ferrel yang menawarkan diri untuk pulang bareng barusan.

"Yaudah, gapapa, Bang. Have fun ya!" nggak tau mau bilang apa. Kalau marah juga rugi.

"Share live location nya ya, abang pantau dari sini." Pesannya—seperti biasa kalau gue harus naik ojek online, sebelum akhirnya sambungan telepon kami terputus.

Sekarang ini harus gimana? Gue anti banget pakai taxi/ojek online karena trauma pernah dapet sopir pedofil. Hm, apa ini udah saatnya gue mulai menguji sampai mana Dipta belajar untuk jadi pacar yang baik ya? Berani nggak ya gue minta tolongnya?

"Halo?" oke, baru suara gini doang gue langsung mikir panjang.

"Dip. Gue ganggu gak?"

"Ganggu," anjrit lah. Oke, sabar. Gue nggak mau naik taxi online.

"Bang Bayu nggak bisa jemput gue di sekolah tiba-tiba. Boleh minta tolong jemput gue nggak?"

"Jaman sekarang serba online. Harus banget repotin gue?"

Nggak. Gue yakin kok kalau proses belajar Dipta memang ada kemajuannya.

"Tolong banget, Dip. Gue trauma naik taxi online, sekolah juga udah kosong banget. Lo bener-bener nggak mau ya?"

Gue mendengar Dipta menghembuskan nafas kasarnya. Tenang, Vy. Jangan masukin ke hati. "Terserah gue tapi mau kapan jemput lo. Kuat nungguin?"

Gue menghela nafas. "Kuat. Yang penting lo mau kan jemput?"

"Ya, tunggu!"

Sekali pun pertolongan ini tanpa kepastian yang jelas, gue tetap tersenyum mendengar Dipta yang mau meluangkan waktunya untuk menjemput gue.

Latihan kali ini capek banget. Bener-bener capek. Setelah gue beli minum di warung depan sekolah—yang untungnya masih buka, gue duduk sambil bersender di tembok. Kaki gue keram mendadak. Sialnya gue nggak bisa teriak, mengaduh, apalagi mengeluh, karena gue tau nggak ada satu orang pun yang bisa bantuin ini. Alhasil gue cuman bisa pijet-pijet pelan bagian yang keram dengan harapan rasa keram ini sedikit mereda.

Dipta lama banget. Satu setengah jam berlalu, langit juga udah mulai gelap dan masih belum ada tanda-tanda kedatangannya. Gue nggak penting ya buat lo, Dip?

PathwayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang