Tangisan Lama

227 21 0
                                    

14

Evelyn

Akhirnya. Sedikit lagi gue selesai menjadi 'model' (sok) profesional. Sedikit lagi, sedikit lagi wajahnya akan menghilang dari jarak pandang gue. Bisa-bisanya saat pemotretan dia bersikap sok tegas kemudian mencari celah untuk sok lembut kepada gue seolah-olah nggak ada yang terjadi sebelumnya. Dipta, selalu punya cara buat gue merasa bingung dan sakit hati sekaligus.

"Terimakasih Raka dan tim sudah membantu projek ini. Terimakasi tim panitia yang banyak tingkah tapi ternyata bisa serius juga. Terimakasi untuk tim wardrobe, terutama Nadya yang bisa multitasking jadi MUA juga. Terakhir, terimakasi buat model kita ini, Evelyn. Tepuk tangan buat kita semua!"

Kami semua—orang-orang yang ikut serta dalam projek ini, udah membentuk lingkaran besar sambil membawa barang masing-masing di dekat bus dengan kondisi langit yang sudah gelap. Pemotretan selesai di jam setengah 7 malam. Baru aja suara tepuk tangan serempak ini berhenti Bu Rima tiba-tiba menyuruh gue untuk berdiri di tengah-tengah lingkaran, katanya ada yang mau di bicarain sama beliau.

"Ibu boleh minta tolong lagi sekali?"

Beginilah Bu Rima kalau udah punya murid kepercayaan sekaligus kesayangannya. Kadang gue mau undurin diri jadi siswi favoritnya itu, "Boleh, bu."—yaudah lah gue juga mau-mau aja. Bu Rima tersenyum mendengar jawaban gue itu, sedangkan gue lagi berdoa dalam hati supaya permintaannya nggak merepotkan banget.

"Kamu tulis artikel tentang ootd yang kamu pakai tadi kemudian di kaitkan dengan alam buat isi majalah, bisa?" oh, ternyata nggak begitu merepotkan, "Soalnya ide pakaian kamu tadi kayaknya cuman kamu yang paham. Kelewat bagus," pujinya.

Gue terkekeh bangga, "Makasi bu. Di kumpulnya kapan artikelnya?"

Jawabannya buat gue mau menarik kata-kata kalau suruhan Bu Rima kali ini nggak merepotkan, "Kalau bisa hari ini sih. Besok jam delapan pagi semua isi majalah mau di kumpulkan jadi satu ke penerbit sekolah,"

"Udah ada tim jurnalistik kok malah repotin modelnya sih, Bu?" celetuk sosok yang ingin sekali gue hindari dari tadi, Dipta. "Model tugasnya ikut pemotretan aja, urusan artikel itu kan urusan anak-anak ibu di lab jurnalistik."

So, now he's trying to sympathize with me?

Haha. Dia pikir gue percaya sama kepalsuannya kali ini?

"Lagi-lagi saya nggak bicara atau pun meminta pertolongan kamu, Dipta. Jangan karena kamu Ketua OSIS buat kamu merasa kalau semua urusan berhak kamu ikut campurkan,"

Gue melihat sekilas kalau Dipta menatap Bu Rima dengan tatapan menantang, dia bahkan sampai melangkah masuk ke tengah lingkaran. "Ibu nggak mikir kalau anaknya kecapekan? Baru habis tanding basket kemarin, latihan dua minggu, sampe rumah harusnya di pake istirahat malah buat artikel. Di kumpulnya hari ini juga lagi, ibu nggak mikirin itu?"

Bukan rahasia umum kalau memang cuman Dipta yang berani melawan Bu Rima, guru pembina OSIS sekaligus pembina jurnalistik ini. Tapi apa dia harus secaper ini sok-sok peduli sama kondisi gue di saat baru aja kemarin dia sakitin gue? Kocak.

"Kok repot sendiri, sih?" sindir gue tanpa menatapnya sama sekali. Muak banget harus liat sifat sok baiknya sekarang ini. Usai gue mengatakan itu, mulut Dipta seolah-olah di bungkam rapat. Dia nggak mengatakan sepatah kata lagi.

"Lihat, Dip? Evelyn aja mau, kenapa kamu yang sewot?" cibir Bu Rima, kayaknya ibu-ibu ini juga ikut malas dengan anak OSIS nya sendiri. "Kamu mau kan buat artikelnya?" tanya beliau lagi sekali.

"Mau kok, bu. Lagian saya juga suka buat artikel-artikel bukan cuman karena suruhan dari ibu aja,"

Gue melihat mata Rama terbelalak kaget. Mungkin dia peka kalau sahabatnya ini sedang menyindir sahabatnya.

PathwayWhere stories live. Discover now