Dipta's POV

291 22 1
                                    

11

Dipta

19 Juni 2020

"Makasih, Dip, tebengannya!"

Namanya Chintya Anindita. Badan nya tinggi se dagu gue, wangi citrus khas banget di badannya, dia suka banget denger lagunya LANY atau nggak Taylor Swift. Dia teman gue dari SMP sekaligue cewek yang gue cinta sejak SMP juga.

Cewek yang mampu buat gue standby di depan sekolah sampai jam 7 malam setiap Rabu dan Kamis hanya untuk menunggunya selesai ekskul—sekali pun dia di jemput sopir untuk pulang. Cewek yang mampu buat gue—si yang paling benci baca buku, memutuskan membaca dan mengikuti segala cerita dari Bumi series karya Tere Liye yang dia suka supaya gue bisa punya topik pembicaraan yang berlangsung lama dengannya.

Cewek pertama yang buat gue jatuh cinta. Dia juga cewek pertama yang buat gue menahan gugup sekarang. "Kenapa? Katanya ada yang mau di omongin?" tanya Chintya saat gue mencegahnya untuk masuk karena gue bilang mau ngomong sesuatu.

"Gue..."

"Kenapa?"

"Gue cinta sama lo dari SMP. Lo mau jadi pacar gue nggak?" ini langkah ter-berani yang pernah gue ambil. Chintya melotot kaget mendengar itu. Sayangnya langkah berani ini nggak sesuai sama apa yang gue mau, "Maaf, Dip. Gue nggak bisa,"

Gue kaget. Kecewa juga. Gue pikir kedekatannya dengan gue selama ini menunjukkan kalau dia juga suka sama gue tapi ternyata ada alasan di balik itu semua. "Kedekatan kita berdua itu layaknya gue dan Rama, Dip. Nggak pernah ada terlintas di pikiran gue kalau lo cinta sama gue,"

Jadi, Chintya yang mau berduaan sama gue di coffee shop deket sekolah sambil membicarakan buku Tere Liye selama tiga jam. Chintya yang mau pulang bareng gue setiap pulang ekskul kalau supirnya nggak bisa jemput. Chintya yang mau meluangkan waktunya untuk mengajari gue matematika sehari sebelum ulangan harian. Itu semua karena dia anggap gue sebatas teman?

"Apa gue bener-bener nggak punya kesempatan buat jadi pacar lo, Chin? Apa lo nggak mau kasi kesempatan buat gue nunjukin kalau gue cinta banget sama lo?" gue memohon tanpa peduli urusan harga diri dan semacamnya.

Chintya terdiam, dia terlihat berpikir panjang soal pertanyaan gue. "Kalau gue mau liat ketulusan lo dengan kasi suatu syarat, apa lo mau lakuinnya?"

Tanpa memakan waktu lama, gue mengangguk mau, "Asalkan itu bisa buat lo terima cinta gue. Gue lakuin, Chin,"

Chintya menghembuskan nafas panjang dan menggenggam tangan gue yang dari tadi memegang tangannya, "Sahabat gue, Evelyn, yang selalu nempel sama gue itu sebenernya suka sama lo dari kelas 8 SMP. Kalau lo bisa bahagiain dia, gue mungkin bisa terima cinta lo."

Bahagiain dia?

Evelyn si model majalah? Dia suka sama gue?

"Bahagiain gimana?"

"Simpel aja. Deketin dia, pdktin sahabat gue, buat dia nyaman karena dengan lo notice dia pasti itu bisa buat sahabat gue bahagia,"

Seriously?

Bukan susah, tapi bagaimana bisa gue lakuinnya. Bagaimana bisa gue deketin cewek dan jadiin dia gebetan gue di saat nggak ada perasaan apa pun. Bahkan untuk kenal Evelyn saja cuman sekedar kenal karena Chintya dan Rama.

"Evelyn udah kayak saudara buat gue. Dia bahagia, gue juga ikut bahagia. Gue yakin lo bisa lakuin itu. Kalau lo bisa lakuinnya, gue akan berusaha buka hati untuk lo kok, Dip,"

oOo

12 Juli 2020

Hampir sebulan.

Hampir sebulan gue berusaha keras untuk terlihat tertarik sama Evelyn. Hampir sebulan gue sekolah dengan cap 'gebetannya model majalah sekolah' atau 'gebetannya si Evelyn' dari teman seangkatan, adik kelas mau pun kakak kelas. Hampir sebulan juga gue menunggu kepastian dari Chintya dan mempertanyakan harus sampai kapan gue menjalani syarat ini? Apakah sahabat kesayangannya itu belum bahagia juga karena gue? Apakah dekat saja kurang buat si Evelyn?

PathwayWhere stories live. Discover now