Puncak Ketenangan

262 8 1
                                    

40

Dipta

Mendengar Om Raja yang menjadikan keponakan yang tampan dan rupawan ini sebagai buah bibir dengan sahabat-sahabat gue kemarin karena urusan ketahuan ciuman buat gue di ceng-cengin habis-habisan, sama siapa lagi kalau bukan Rama, Kevin, Yoga dan juga Iko. Gue hampir sama sekali nggak bisa fokus selama sekolah, bukan hanya karena memikirkan Evelyn tapi juga karena ledekan-ledekan empat siluman yang selalu mengaitkan hal yang gue bicarakan dengan ciuman kemarin itu. Contohnya sewaktu di kantin tadi,

"Ga, bagi sambelnya!" seru gue. Meminta sambal untuk bakso yang rasanya lebih asin dari biasanya. Dan sialnya si Yoga bilang, "Padahal gue udah siapin bakso kuah asin buat lo doang."

Gue awalnya bingung, "Kok?"

"Iya. Kata eyang gue, yang doyan ciuman pasti doyan makanan asin." Jawabannya ini pastinya sudah sampai di telinga Rama, Kevin dan Iko sebelum Yoga menyampaikannya pada gue. Liat mereka sekarang, ketawa keras banget bahkan sambil melemparkan gumpalan tisu pada wajah merah padam gue yang sedang menahan malu. Itu hanya satu contoh dari banyaknya ledekan tadi selama sekolah.

Gue pikir rasa malu ini berhenti cuman sampai diledek empat satanisme tadi, diajak ngobrol face to face sama Bang Bayu kemarin saat gue pulang dari rumah sakit dan diledek-ledek Tante Linda dan nyokap. Tapi pikiran gue salah. Nyatanya saat gue pulang sekolah, setelah selesai bersiap-siap untuk ke rumah sakit lagi untuk menjenguk kekasih gue—bokap dan nyokap duduk di ruang tamu menyuruh gue untuk bergabung dengan mereka. Kemungkinan cuman ada satu, bokap pasti marahin gue karena cium anak gadis yang belum aja menjadi istri.

"Dipta mau ke rumah sakit, nih. Nanti Evelyn kelamaan tunggu nya." alasan gue harusnya masuk akal untuk mencegah bokap atau nyokap tidak menyuruh gue untuk duduk di hadapan mereka.

"Duduk sebentar dulu. Papa nggak makan kamu, jadi muka kamu santai aja,"

Tamat aja deh lo sekarang, Dip.

Gue menghela nafas tegang lalu perlahan mendekat ke sofa di hadapan bokap dan nyokap yang menatap gue penuh keanehan sambil melipat tangan di depan dada. Buset.

"Kemarin ciuman sama Evelyn, ya?"

Tanpa basa-basi.

Tanpa pembukaan.

Tanpa pemanasan.

Gue terdiam dengan sedikit melotot kaget. Habis gue. Mama malah terkekeh riang dan menepuk pundak bokap, "To the point aja, Pah. Kasian Dipta udah nggak sabar ketemu Evelyn,"

Lah, gue kira kalimat pertama Papa itu udah to the point. Apa yang lebih to the point dari pada 'Kemarin ciuman sama Evelyn, ya?'. Bokap malah menatap nyokap dengan tatapan yang hanya mereka berdua yang paham. Entah apa artinya itu, intinya sekarang Mama yang mengangkat suara.

"Kamu sama Evelyn nggak pernah aneh-aneh selain ciuman, kan?"

Lagi-lagi gue melotot lalu menggeleng tegas. "Berani sumpah cuman ciuman doang. Itu pun yang kemarin kedua kalinya!"

Mama dan Papa serempak tertawa. Ini gue udah tegang mampus tapi orang tua gue malah asik ketawa dan menatap gue dengan ekspresi salting.

"Kamu cium anak gadis orang, apa kamu punya niat untuk nikahin dia?"

Gue terdiam. Dalam hati gue menjawab, 'PUNYA LAH. PUNYA BANGET!'

"Justru karena punya niat untuk menikah sama Evelyn makannya Dipta cium dia," jawab gue tenang, berusaha jujur kepada dua pasangan yang menatap gue kaget sekarang.

Gue melihat Papa menghembuskan nafas lega, "Kirain kamu asal cium aja. Tadinya papa mau paksa kamu buat nikah sama Evelyn karena kamu udah aneh-aneh,"

Untuk kesekian kalinya, gue melotot. Paksa? Buat apa? Tanpa dipaksa pun gue pasti akan nikah sama Evelyn. Gue sesayang itu sama Evelyn dan gila aja kalau dia bukan jodoh gue. 'Sidang' gue dengan bokap dan juga nyokap berlangsung nggak begitu lama karena point dari ceramahan mereka itu adalah menyuruh gue untuk serius sama Evelyn. Hampir aja jantung gue loncat ke dengkul. Papa cuman menitipkan pesan sebelum gue pergi menuju rumah sakit.

PathwayWhere stories live. Discover now